1. Bagaimana cara terapis untuk
menjalankan tujuan dari terapi perspektif interatip sehingga dapat membantu
konseli mengembangkan integritasinya pada level tertinggi, ditandai adanya
aktualisasi diri dan integritas yang memuaskan ? (jelaskan dengan contoh kasus)
Jawaban : Dengan memberikan motivasi
kepada klien yang mengalami permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan
sendiri dan membantu klien menemukan inti permasalahan dengan memberikan
pilihan jalan keluar agar klien dapat memilih dan mempertimbangkan sesuai
dengan dirinya. Dan terapi memberikan apresiasi kepada klien atas perkembangan
yang diperoleh klien dalam penyelesaian-penyelesaian masalah yang dapat diatasi
klien.
Contoh kasus -> Mr. A adalah seorang
pria lajang berusia 30 tahun yang telah mengikuti sesi psikoterapi karena
menderita gangguan distimik (suatu kondisi kronis yang ditandai dengan gejala
depresi yang terjadi hampir sepanjang hari), selama beberapa tahun terakhir
ini. Setelah dilakukan eksplorasi dan interpretasi secara sadar, ditemukan
faktor penyebab depresi. Ternyata Mr. A tidak pernah bisa menerima
perpisahannya dengan orang tuanya yang terjadi ketika dirinya berusia sekitar
17 tahun. Pada saat itu, ia telah meninggalkan karir yang menguntungkan di
industri musik untuk menjadi seorang musisi. Keputusan ini sangat memuaskan
baginya secara emosional dan interpersonal, tetapi bagi orang tuanya hal ini
merupakan kekecewaan besar dan pengkhianatan. Setelah mencoba untuk memperbaiki
hubungan dan hanya menerima terus kemarahan dan kritik dari orang tuanya, Mr. A
akhirnya berhenti bertemu dan berhenti berbicara kepada mereka.
Sejauh klien sadar, ia telah melupakan
sakit hati nya, kemarahan, dan kerinduan untuk kontak dengan keluarganya.
Namun, seperti mimpi-mimpinya, asosiasi bebas, dan reaksi terhadap eksplorasi
terapis, menjadi jelas bahwa ia terjebak dalam proses berkabung terputus dengan
orang tuanya. Dalam keadaan ini ia dilanda kemarahan pada orang tuanya, rasa
bersalah dan rasa malu karena telah menyakiti mereka, serta harapan yang tidak
realistis bahwa mereka akan datang suatu hari untuk mencintai dan menerima dia
dengan pilihannya. Semua emosi tersebut disimpan di luar kesadaran melalui
proses defensif aktif, di antaranya adalah keputusan yang tanpa disadari
mengubah kemarahannya melawan dirinya sendiri. Hasil dari serangan-serangan tak
sadar pada dirinya sendiri menjadikan dirinya merasa sedih, lesu, dan
terus-menerus diganggu oleh pikiran-kritik dan bayangan diri. Interpretasi
proses tak sadar dan emosional ini membantu untuk mendapatkan jarak dan bantuan
dari sikap menyerang terhadap diri sendiri, tapi dia belum bisa menyetujui
bahwa pikiran adalah inti dari permasalahan yang membuatnya depresi.
Pada saat berada di titik ini,
restrukturisasi kognitif dimulai dengan dua tujuan: pertama, untuk meringankan
penderitaan klien, dan kedua, untuk mengeksternalisasi kemarahan klien yang
diakibatkan oleh kehadiran pikiran-pikiran mengenai kemarahannya terhadap orang
tuanya. Penggunaan integrasi kognitif ini merupakan ciri khas dari integrasi
asimilatif, karena melibatkan penggunaan teknik dari terapi kognitif. Dengan
cara ini Mr. A sukses melawan pemikiran diri yang kritis, gejala depresinya pun
meningkat secara signifikan. Yang terpenting, ia mulai menyadari bahwa stimulus
internal untuk kritik dirinya sering secara samar-samar dirasakan ketika
mengingat orang tuanya, dan ia mulai untuk sepenuhnya merasakan kemarahan atas
penolakan mereka yang masih membara dalam dirinya. Tampaknya bahwa integrasi
restrukturisasi kognitif pada kenyataannya telah mencapai tujuan asimilatif
yang membuat klien lebih mudah menyadari dan mengakui konflik emosional alam
bawah sadarnya.
2. Bagaimana cara terapis mengetahui metode yang tepat
untuk memilih teknik yang akan dilakukan dalam melakukan terapi bermain? Jelaskan dengan contoh kasus!
Jawaban :
Kasus : Anak Hiperaktif (ADHD)
1.
Pendekatan
Pada
pendekatan ini terapis memulainya dengan raport terlebih dahulu kepada subjek
agar subjek merasa nyaman untuk melakukan terapi yaitu dengan memberikan
pertanyaan umum seperti menanyakan kabarnya, menanyakan perasaannya selama
perjalanan ketempat terapi, identitasnya dan juga memberikan pertanyaan khusus
seperti menanyakan tentang minat subjek.
2.
Menggali Informasi Subjek
Setelah
melakukan pendekatan, terapis mencoba menggali informasi dari ibu subjek
mengenai ketertarikannya untuk datang ketempat terapi tersebut, jika setelah
ibu subjek memberikan keterangan bahwa subjek sering kali berperilaku yang
selalu berlarian tanpa henti, membuat berantakan seluruh mainan tanpa
menggunakannya untuk bermain (hanya dilempar-lempar kemana saja). Lalu terapis
dapat memulai dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka secara mendalam mengenai
perilaku anaknya itu, yang tersusun dalam pedoman wawancara, seperti
menanyakan. Selain menggunakan pedoman wawancara saat menggali informasi dari
subjek terapis juga menggunakan alat tulis.
3.
Memilih Terapi Yang Tepat
Berdasarkan
informasi yang didapatkan dari subjek mengenai perilaku subjek yang selalu
berlarian tanpa henti, membuat berantakan seluruh mainan tanpa menggunakannya
untuk bermain (hanya dilempar-lempar kemana saja), sering memukul dan menendang
tanpa alasan bahkan terkadang saat memegang benda juga digunakan untuk melempar
atau memukul, makan sambil berlarian dan berantakan seluruh makanannya, tidak
memperhatikan jika diberitahu sesuatu, suka berteriak-teriak kasar, dan
membanting benda-benda terutama jika permintaannya tidak segera dipenuhi, maka
subjek dapat dikategorikan bahwa ia mengalami hiperaktif (ADHD). Dimana ketika
subjek berada di sekolah, subjek terlihat kesulitan mengikuti proses belajar
karena dia selalu saja berlari dan sulit sekali diminta duduk di kursinya. Guru
dan teman-teman lain merasa terganggu karena setiap kali Bona diminta duduk,
beberapa detik kemudian sudah berlari-lari lagi keliling ruang kelas sambil
mengganggu temannya atau sampai keluar kelas. Maka dalam kasus ini, subjek
dapat dibantu melalui pemberian terapi bermain bagi anak ADHD, yaitu Tujuan dan
target setiap sesi terapi bermain harus spesifik berdasarkan kondisi dan
ketrampilan anak, dilakukan dengan bertahap, terstruktur dan konsistensi. Salah
satu yang perlu diperhatikan pada anak ADHD adalah sensitivitas mereka terhadap
perubahan sehingga kita harus membantu menciptakan sesuatu yang rutin untuk
mereka. Dalam hal ini konsistensi yang dapat diciptakan terapis misalnya dalam
hal waktu, aturan bermain, tempat, dan jumlah alat permainan. Pemilihan ini
harus didasarkan pada kondisi anak dan target perilaku yang dituju. Kasus
tersebut saya hubungkan dengan teori terapi bermain. Landreth (2001)
berpendapat bahwa bermain sebagai terapi merupakan salah satu sarana yang
digunakan dalam membantu anak mengatasi masalahnya, sebab bagi anak bermain
adalah simbol verbalisasi. Definisi terapi bermain juga menunjukkan bahwa
terapis bermain berusaha untuk mengenali, mengetahui, dan memanfaatkan kekuatan
terapi bermain. Ini kekuatan terapi, juga dikenal sebagai mekanisme perubahan,
merupakan kekuatan yang aktif dalam bermain yang membantu klien mengatasi
kesulitan psikososial dan mencapai perkembangan positif.
4.
Pelaksanaan Terapi
Dalam
kasus tersebut dilakukan terapi bermain dengan 2 teknik, yaitu teknik bercerita
dan teknik bermain. Bercerita secara psikologis membaca atau bercerita
merupakan salah satu bentuk bermain yang paling sehat. Kebanyakan anak kecil
lebih menyukai cerita tentang orang dan hewan yang dikenalnya. Selain itu
karena anak kecil cenderung egosentrik mereka memyukai cerita yang berpusat
pada dirinya. Mula-mula anak-anak suka cerita imajinatif yang khayal kemudian
seiring dengan berkembangnya kecerdasan dan pengalaman sekolah anak yang lebih
besar menjadi realistik, dan minatnya pun beralih ke cerita petualangan,
kekerasan, kemewahan dan cinta serta pendidikan. Menceritakan cerita memberikan
cara yang menyenangkan untuk mengembangkan raport dan belajar tentang anak.
Ketika anak menceritakan cerita mereka, mereka mengkomunikasikan informasi
penting tentang diri mereka sendiri dan keluarga mereka sambil belajar
mengekspresikan dan menguasai perasaan mereka. Dengan mendengarkan cerita anak,
terapis dapat memahami lebih baik pertahanan diri anak, konflik anak, dan
dinamika keluarga anak. Dalam menganalisis cerita anak, terapis harus mencari
tema yang diulang yang dapat memberikan kunci penting tentang perasaan perasaan
dan perjuangan anak. Terapis harus sangat akrab dan terampil dalam
menginterpretasikan komunikasi simbolik secara wajar. Semua ini tergantung pada
keterampilan dan pertimbangan terapis. Bermain selama masa kanak-kanak
mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan permainan remaja danorang
dewasa. Permainan anak kecil bersifat spontan dan informal. Secara bertahap
bermain menjadi semakin formal. Dengan berkembangnya kemampuan berpikir anak,
anak mulai mengembangkan permaianan dengan aturan. Permainan individu dan
kelompok membantu anak belajar bagaimana membagi kelompok dan bermain dengan
aturan. Permainan mengajar anak tentang mendisiplin diri, serta belajar untuk
menang dan kalah. Permainan yang diterapkan untuk terapi bermain dapat
dimainkan sendiri maupun berkelompok. Terapis dilakukan dengan beberapa tahap,
dan subjek dibantu oleh seluruh anggota keluarga, khususnya ibu subjek yang
harus terus berada di samping subjek. membutuhkan ruangan yang nyaman dan tidak
bising serta tempat duduk yang nyaman untuk melakukan terapi tersebut. Kemudian
terapis membuat target perilaku, dan beberapa perilaku yang menjadi target
dalam perubahan perilaku ini adalah: •Harapan awal dari terapi yaitu subjek
mampu membereskan mainan dan barang-barang subjek sindiri. Memasukkan pensil,
penghapus, dan buku ke tas setelah digunakan. (Tidak meninggalkan pensil,
penghapus, dan buku di meja belajar, meja tamu, atau di ruang lain)
Mengembalikan mainan ke wadahnya setelah digunakan. (Tidak melempar-lempar
mainan jika tidak digunakan, jika melempar-lempar maka harus mengambil kembali
dan dikembalikan ke wadahnya.) •Mendengarkan orang lain bicara sampai selesai,
Menunggu Bapak, Ibu, pembantu, atau teman selesai ketika sedang berbicara tanpa
memotong. •Mengerjakan aktivitas sampai selesai, Menggambar sampai selesai.
(Tidak berganti kertas gambar atau meninggalkannya sebelum gambar selesai
dibuat.) Karena program ini berbasis pada sistem aturan maka perilaku yang
menjadi target dapat beberapa (tidak hanya satu) dengan catatan setiap target
perilaku akan dibuatkan aturan yang detil dan jelas tentang perilaku yang
diharapkan dan tidak diharapkan (dalam program yang direncanakan).
5.
Evaluasi
Kasus
ini akan selalu dievaluasi dan dimonitor menggunakan lembar evaluasi dan lembar
monitoring yang dibuat saat perencanaan program (contoh lembar evaluasi dan
lembar monitoring terlampir). Evaluasi dan monitoring dilakukan ibu subjek
sebagai manajer program dan secara berkala akan didiskusikan bersama terapis
untuk melihat efektivitas dan kemajuan program tersebut. Evaluasi dilakukan
dalam tahapan yang sistematis, seperti berikut: •Harapan awal dari terapi yaitu
subjek mampu membereskan mainan dan barang-barang subjek sindiri. •Mendengarkan
orang lain bicara sampai selesai. •Mengerjakan aktivitas sampai selesai.
3. Bagaimana cara afektif yang harus
dilakukan terapis dalam metode teknik keluarga? jelaskan dengan contoh kasus!
Jawaban : Pada kasus anak yang memiliki
permasalahan mogok sekolah dan pemakai narkoba, pada kasus ini terapis
mengadakan pertemuan antara klien tanpa memberitahu identitas yang sebenarnya
yang disusul dengan keluarga klien karena dalam terapi keluarga orang luar
kemungkinan akan sulit diterima. Pada
kasus ini terapis menjadikan dirinya sebagai guru dan tenaga ahli di komunikasi. Dan terjadilah diskusi antar satu
keluarga yang dimana klien sulit untuk mengeluarkan pendapatnya kedalam satu
keluarga sehingga tidak terjadinya interaksi yang baik diantara orang tua dan
anak dan menunjukkan permasalahan dalam hal komunikasi yang menyebabkan klien
untuk mencari pelarian pada lingkungan yang kurang baik. Kemudian Terapis
memutuskan untuk mengarahkan situasi terapi pada diskusi dalam satu keluarga
agar dapat saling terbuka antara orang tua dan anak.
0 komentar:
Posting Komentar