Tugas Psikometri 4

1.      Bagaimana cara terapis untuk menjalankan tujuan dari terapi perspektif interatip sehingga dapat membantu konseli mengembangkan integritasinya pada level tertinggi, ditandai adanya aktualisasi diri dan integritas yang memuaskan ? (jelaskan dengan contoh kasus)
Jawaban : Dengan memberikan motivasi kepada klien yang mengalami permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan sendiri dan membantu klien menemukan inti permasalahan dengan memberikan pilihan jalan keluar agar klien dapat memilih dan mempertimbangkan sesuai dengan dirinya. Dan terapi memberikan apresiasi kepada klien atas perkembangan yang diperoleh klien dalam penyelesaian-penyelesaian masalah yang dapat diatasi klien.
Contoh kasus -> Mr. A adalah seorang pria lajang berusia 30 tahun yang telah mengikuti sesi psikoterapi karena menderita gangguan distimik (suatu kondisi kronis yang ditandai dengan gejala depresi yang terjadi hampir sepanjang hari), selama beberapa tahun terakhir ini. Setelah dilakukan eksplorasi dan interpretasi secara sadar, ditemukan faktor penyebab depresi. Ternyata Mr. A tidak pernah bisa menerima perpisahannya dengan orang tuanya yang terjadi ketika dirinya berusia sekitar 17 tahun. Pada saat itu, ia telah meninggalkan karir yang menguntungkan di industri musik untuk menjadi seorang musisi. Keputusan ini sangat memuaskan baginya secara emosional dan interpersonal, tetapi bagi orang tuanya hal ini merupakan kekecewaan besar dan pengkhianatan. Setelah mencoba untuk memperbaiki hubungan dan hanya menerima terus kemarahan dan kritik dari orang tuanya, Mr. A akhirnya berhenti bertemu dan berhenti berbicara kepada mereka.
Sejauh klien sadar, ia telah melupakan sakit hati nya, kemarahan, dan kerinduan untuk kontak dengan keluarganya. Namun, seperti mimpi-mimpinya, asosiasi bebas, dan reaksi terhadap eksplorasi terapis, menjadi jelas bahwa ia terjebak dalam proses berkabung terputus dengan orang tuanya. Dalam keadaan ini ia dilanda kemarahan pada orang tuanya, rasa bersalah dan rasa malu karena telah menyakiti mereka, serta harapan yang tidak realistis bahwa mereka akan datang suatu hari untuk mencintai dan menerima dia dengan pilihannya. Semua emosi tersebut disimpan di luar kesadaran melalui proses defensif aktif, di antaranya adalah keputusan yang tanpa disadari mengubah kemarahannya melawan dirinya sendiri. Hasil dari serangan-serangan tak sadar pada dirinya sendiri menjadikan dirinya merasa sedih, lesu, dan terus-menerus diganggu oleh pikiran-kritik dan bayangan diri. Interpretasi proses tak sadar dan emosional ini membantu untuk mendapatkan jarak dan bantuan dari sikap menyerang terhadap diri sendiri, tapi dia belum bisa menyetujui bahwa pikiran adalah inti dari permasalahan yang membuatnya depresi.
Pada saat berada di titik ini, restrukturisasi kognitif dimulai dengan dua tujuan: pertama, untuk meringankan penderitaan klien, dan kedua, untuk mengeksternalisasi kemarahan klien yang diakibatkan oleh kehadiran pikiran-pikiran mengenai kemarahannya terhadap orang tuanya. Penggunaan integrasi kognitif ini merupakan ciri khas dari integrasi asimilatif, karena melibatkan penggunaan teknik dari terapi kognitif. Dengan cara ini Mr. A sukses melawan pemikiran diri yang kritis, gejala depresinya pun meningkat secara signifikan. Yang terpenting, ia mulai menyadari bahwa stimulus internal untuk kritik dirinya sering secara samar-samar dirasakan ketika mengingat orang tuanya, dan ia mulai untuk sepenuhnya merasakan kemarahan atas penolakan mereka yang masih membara dalam dirinya. Tampaknya bahwa integrasi restrukturisasi kognitif pada kenyataannya telah mencapai tujuan asimilatif yang membuat klien lebih mudah menyadari dan mengakui konflik emosional alam bawah sadarnya.

2.      Bagaimana  cara terapis mengetahui metode yang tepat untuk memilih teknik yang akan dilakukan dalam melakukan terapi bermain?  Jelaskan dengan contoh kasus!
Jawaban         :
Kasus : Anak Hiperaktif (ADHD)
1.      Pendekatan
Pada pendekatan ini terapis memulainya dengan raport terlebih dahulu kepada subjek agar subjek merasa nyaman untuk melakukan terapi yaitu dengan memberikan pertanyaan umum seperti menanyakan kabarnya, menanyakan perasaannya selama perjalanan ketempat terapi, identitasnya dan juga memberikan pertanyaan khusus seperti menanyakan tentang minat subjek.
2.      Menggali Informasi Subjek
Setelah melakukan pendekatan, terapis mencoba menggali informasi dari ibu subjek mengenai ketertarikannya untuk datang ketempat terapi tersebut, jika setelah ibu subjek memberikan keterangan bahwa subjek sering kali berperilaku yang selalu berlarian tanpa henti, membuat berantakan seluruh mainan tanpa menggunakannya untuk bermain (hanya dilempar-lempar kemana saja). Lalu terapis dapat memulai dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka secara mendalam mengenai perilaku anaknya itu, yang tersusun dalam pedoman wawancara, seperti menanyakan. Selain menggunakan pedoman wawancara saat menggali informasi dari subjek terapis juga menggunakan alat tulis.
3.      Memilih Terapi Yang Tepat
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari subjek mengenai perilaku subjek yang selalu berlarian tanpa henti, membuat berantakan seluruh mainan tanpa menggunakannya untuk bermain (hanya dilempar-lempar kemana saja), sering memukul dan menendang tanpa alasan bahkan terkadang saat memegang benda juga digunakan untuk melempar atau memukul, makan sambil berlarian dan berantakan seluruh makanannya, tidak memperhatikan jika diberitahu sesuatu, suka berteriak-teriak kasar, dan membanting benda-benda terutama jika permintaannya tidak segera dipenuhi, maka subjek dapat dikategorikan bahwa ia mengalami hiperaktif (ADHD). Dimana ketika subjek berada di sekolah, subjek terlihat kesulitan mengikuti proses belajar karena dia selalu saja berlari dan sulit sekali diminta duduk di kursinya. Guru dan teman-teman lain merasa terganggu karena setiap kali Bona diminta duduk, beberapa detik kemudian sudah berlari-lari lagi keliling ruang kelas sambil mengganggu temannya atau sampai keluar kelas. Maka dalam kasus ini, subjek dapat dibantu melalui pemberian terapi bermain bagi anak ADHD, yaitu Tujuan dan target setiap sesi terapi bermain harus spesifik berdasarkan kondisi dan ketrampilan anak, dilakukan dengan bertahap, terstruktur dan konsistensi. Salah satu yang perlu diperhatikan pada anak ADHD adalah sensitivitas mereka terhadap perubahan sehingga kita harus membantu menciptakan sesuatu yang rutin untuk mereka. Dalam hal ini konsistensi yang dapat diciptakan terapis misalnya dalam hal waktu, aturan bermain, tempat, dan jumlah alat permainan. Pemilihan ini harus didasarkan pada kondisi anak dan target perilaku yang dituju. Kasus tersebut saya hubungkan dengan teori terapi bermain. Landreth (2001) berpendapat bahwa bermain sebagai terapi merupakan salah satu sarana yang digunakan dalam membantu anak mengatasi masalahnya, sebab bagi anak bermain adalah simbol verbalisasi. Definisi terapi bermain juga menunjukkan bahwa terapis bermain berusaha untuk mengenali, mengetahui, dan memanfaatkan kekuatan terapi bermain. Ini kekuatan terapi, juga dikenal sebagai mekanisme perubahan, merupakan kekuatan yang aktif dalam bermain yang membantu klien mengatasi kesulitan psikososial dan mencapai perkembangan positif.
4.      Pelaksanaan Terapi
Dalam kasus tersebut dilakukan terapi bermain dengan 2 teknik, yaitu teknik bercerita dan teknik bermain. Bercerita secara psikologis membaca atau bercerita merupakan salah satu bentuk bermain yang paling sehat. Kebanyakan anak kecil lebih menyukai cerita tentang orang dan hewan yang dikenalnya. Selain itu karena anak kecil cenderung egosentrik mereka memyukai cerita yang berpusat pada dirinya. Mula-mula anak-anak suka cerita imajinatif yang khayal kemudian seiring dengan berkembangnya kecerdasan dan pengalaman sekolah anak yang lebih besar menjadi realistik, dan minatnya pun beralih ke cerita petualangan, kekerasan, kemewahan dan cinta serta pendidikan. Menceritakan cerita memberikan cara yang menyenangkan untuk mengembangkan raport dan belajar tentang anak. Ketika anak menceritakan cerita mereka, mereka mengkomunikasikan informasi penting tentang diri mereka sendiri dan keluarga mereka sambil belajar mengekspresikan dan menguasai perasaan mereka. Dengan mendengarkan cerita anak, terapis dapat memahami lebih baik pertahanan diri anak, konflik anak, dan dinamika keluarga anak. Dalam menganalisis cerita anak, terapis harus mencari tema yang diulang yang dapat memberikan kunci penting tentang perasaan perasaan dan perjuangan anak. Terapis harus sangat akrab dan terampil dalam menginterpretasikan komunikasi simbolik secara wajar. Semua ini tergantung pada keterampilan dan pertimbangan terapis. Bermain selama masa kanak-kanak mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan permainan remaja danorang dewasa. Permainan anak kecil bersifat spontan dan informal. Secara bertahap bermain menjadi semakin formal. Dengan berkembangnya kemampuan berpikir anak, anak mulai mengembangkan permaianan dengan aturan. Permainan individu dan kelompok membantu anak belajar bagaimana membagi kelompok dan bermain dengan aturan. Permainan mengajar anak tentang mendisiplin diri, serta belajar untuk menang dan kalah. Permainan yang diterapkan untuk terapi bermain dapat dimainkan sendiri maupun berkelompok. Terapis dilakukan dengan beberapa tahap, dan subjek dibantu oleh seluruh anggota keluarga, khususnya ibu subjek yang harus terus berada di samping subjek. membutuhkan ruangan yang nyaman dan tidak bising serta tempat duduk yang nyaman untuk melakukan terapi tersebut. Kemudian terapis membuat target perilaku, dan beberapa perilaku yang menjadi target dalam perubahan perilaku ini adalah: •Harapan awal dari terapi yaitu subjek mampu membereskan mainan dan barang-barang subjek sindiri. Memasukkan pensil, penghapus, dan buku ke tas setelah digunakan. (Tidak meninggalkan pensil, penghapus, dan buku di meja belajar, meja tamu, atau di ruang lain) Mengembalikan mainan ke wadahnya setelah digunakan. (Tidak melempar-lempar mainan jika tidak digunakan, jika melempar-lempar maka harus mengambil kembali dan dikembalikan ke wadahnya.) •Mendengarkan orang lain bicara sampai selesai, Menunggu Bapak, Ibu, pembantu, atau teman selesai ketika sedang berbicara tanpa memotong. •Mengerjakan aktivitas sampai selesai, Menggambar sampai selesai. (Tidak berganti kertas gambar atau meninggalkannya sebelum gambar selesai dibuat.) Karena program ini berbasis pada sistem aturan maka perilaku yang menjadi target dapat beberapa (tidak hanya satu) dengan catatan setiap target perilaku akan dibuatkan aturan yang detil dan jelas tentang perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan (dalam program yang direncanakan).
5. Evaluasi
Kasus ini akan selalu dievaluasi dan dimonitor menggunakan lembar evaluasi dan lembar monitoring yang dibuat saat perencanaan program (contoh lembar evaluasi dan lembar monitoring terlampir). Evaluasi dan monitoring dilakukan ibu subjek sebagai manajer program dan secara berkala akan didiskusikan bersama terapis untuk melihat efektivitas dan kemajuan program tersebut. Evaluasi dilakukan dalam tahapan yang sistematis, seperti berikut: •Harapan awal dari terapi yaitu subjek mampu membereskan mainan dan barang-barang subjek sindiri. •Mendengarkan orang lain bicara sampai selesai. •Mengerjakan aktivitas sampai selesai.

3.      Bagaimana cara afektif yang harus dilakukan terapis dalam metode teknik keluarga? jelaskan dengan contoh kasus!

Jawaban         : Pada kasus anak yang memiliki permasalahan mogok sekolah dan pemakai narkoba, pada kasus ini terapis mengadakan pertemuan antara klien tanpa memberitahu identitas yang sebenarnya yang disusul dengan keluarga klien karena dalam terapi keluarga orang luar kemungkinan akan sulit diterima.  Pada kasus ini terapis menjadikan dirinya sebagai guru dan tenaga ahli di  komunikasi. Dan terjadilah diskusi antar satu keluarga yang dimana klien sulit untuk mengeluarkan pendapatnya kedalam satu keluarga sehingga tidak terjadinya interaksi yang baik diantara orang tua dan anak dan menunjukkan permasalahan dalam hal komunikasi yang menyebabkan klien untuk mencari pelarian pada lingkungan yang kurang baik. Kemudian Terapis memutuskan untuk mengarahkan situasi terapi pada diskusi dalam satu keluarga agar dapat saling terbuka antara orang tua dan anak.

Tugas Psikoterapi

1.      TERAPI ANALISIS TRANSAKSIONAL
A.       Konsep Terapi Analisis Transaksional
1) Konsep Dasar Pandangan Tentang Sikap Manusia
Analisis Transaksional berakar dalam suatu filsafat anti deterministik yang memandang bahwa kehidupan manusia bukanlah suatu yang sudah ditentukan. Analisis Transaksional didasarkan pada asumsi atau anggapan bahwa orang mampu memahami keputusan-keputusan pada masa lalu dan kemudian dapat memilih untuk memutuskan kembali atau menyesuaikan kembali keputusan yang telah pernah diambil. Berne dalam pandangannya meyakini bahwa manusia mempunyai kapasitas untuk memilih dan, dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya.
Kata transaksi selalu mengacu pada proses pertukaran dalam suatu hubungan. Dalam komunikasi antarpribadi pun dikenal transaksi, yang dipertukarkan adalah pesan pesan baik verbal maupun nonverbal. Analisis transaksional sebenarnya bertujuan untuk mengkaji secara mendalam proses transaksi (siapa-siapa yang terlibat di dalamnya dan pesan apa yang dipertukarkan).

2) Perwakilan Ego
Dalam diri setiap manusia, seperti dikutip Collins (1983), memiliki tiga status ego. Sikap dasar ego yang mengacu pada sikap orang tua (Parent= P. exteropsychic); sikap orang dewasa (Adult=A. neopsychic); dan ego anak (Child = C, arheopsychic). Ketiga sikap tersebut dimiliki setiap orang (baik dewasa, anak-anak, maupun orangtua). Analisis transaksional menggunakan suatu sistem terapi yang berlandaskan pada teori kepribadian yang menggunakan pola perwakilan ego yang terpisah; orang tua, orang dewasa, dan anak. Menurut Corey (1988), bahwa ego orang tua adalah bagian kepribadian yang merupakan introyeksi dari orang tua atau subtitusi orang tua. Jika ego orang tua itu dialami kembali oleh kita, maka apa yang dibayangkan adalah perasaan-perasaan orang tua kita dalam suatu situasi, atau kita merasa dan bertindak terhadap orang lain dengan cara yang sama dengan perasaaan dan tindakan orang tua kita terhadap diri kita. Ego orang tua berisi perintah-perintah “harus” dan “semestinya”. Orang tua dalam diri kita bisa “orang tua pelindung” atau “orang tua pengkritik”.
Ego orang dewasa adalah pengolah data dan informasi, merupakan bagian objektif dari kepribadian, juga menjadi bagian dari kepribadian yang mengetahui apa yang sedang terjadi. Dia tidak emosional dan meghakimi, tetapi menangani fakta-fakta dan kenyataan ekternal. Berdasarkan informasi yang tersedia, ego orang dewasa menghasilkan pemecahan yang paling baik untuk masalah-masalah tertentu.
Selanjutnya, ego anak berisi perasaan-perasaan, dorongan dan tindakan yang bersifat spontan, “anak” yang berada dalam diri kita bisa berupa “anak alamiah,” adalah anak yang impulsif, tak terlatih, spontan, dan ekspresif. Dia adalah bagian dari ego anak yang intuitif. Ada juga berupa “anak disesuiakan,” yaitu merupakan modifikasi-modifikasi yang dihasilkan oleh pengalaman traumatik, tuntutan-tuntutan, latihan, dan ketepatan-ketepatan tentang bagaimana caranya memperoleh perhatian.

3) Skenario Kehidupan dan Posisi Psikologi Dasar
Skenario kehidupan adalah ajaran orang tua yang kita pelajari dan keputusan awal yang dibuat oleh kita sebagai anak, selanjutnya dipahami oleh kita sebagai orang dewasa. Kita menerima pesan-pesan dengan demikian kita belajar dan menetapkan tentang bagaimana kita pada usia dini. Pesan verbal dan non verbal orang tua, mengkomunikasikan bagaimana mereka melihat dan bagimana merasakan diri kita. Kita membuat keputusan yang memberikan andil pada pembentukan perasaaan sebagai pemenang (perasaan “OK”) atau perasaan sebagai orang yang kalah (perasaan “tidak OK”).
Hubungannya dengan konsep skenario, pesan-pesan dan perintah orang tua dan keputusan kita. Dalam hal ini, konsep analisis transaksional memiliki empat posisi dasar yaitu:
1)      Pertama, Saya OK—Kamu OK
2)      Kedua, Saya OK—Kamu Tidak OK
3)      Ketiga, Saya Tidak OK—Kamu OK
4)      Keempat, Saya Tidak OK—Kamu Tidak OK.
Masing-masing dari posisi itu berlandaskan pada keputusan yang dibuat seseorang sebagai hasil dari pengalaman masa kecil. Bila, keputusan yang telah diambil, maka umumnya dia akan bertahan pada keputusannya itu, kecuali bila ada intevensi (konselor atau kejadian tertentu) yang mengubahnya. Posisi yang sehat adalah posisi dengan perasaan sebagai pemenang atau posisi Saya OK—Kamu OK. Dalam posisi tersebut dua orang merasa seperti pemenang dan bisa menjalin hubungan langsung yang terbuka. Saya OK—kamu tidak OK, adalah posisi orang yang memproyeksikan masalah-masalahnya kepada orang lain dan biasanya melimpahkan kesalahan pada orang lain, ciri pada posisi ini menunjukan sikap arogan, menjauhkan seseorang dari orang lain dan mempertahankan seseorang dari teralinasi. Saya Tidak OK—Kamu OK , adalah posisi orang yang mangalami depresi, merasa tidak kuasa dibanding dengan orang lain dan cenderung menarik diri atau lebih suka memenuhi keinginan orang lain daripada keinginan diri sendiri. Saya Tidak OK—Kamu Tidak OK, adalah posisi orang yang memupus semua harapan, bersikap pesimis, dan memandang hidup sebagai sesutau yang hampa.

4) Kebutuhan Manusia Akan Belaian
Pada dasarnya setiap manusia memerlukan belaian dari orang lain, baik itu yang berlainan dalam bentuk fisik maupun emosional. Analisis transaksional memungut pandangan tentang motivasi manusia bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar berkaitan langsung dengan tingkah laku sehari-hari yang dapat diamati. Sejumlah kebutuhan dasar mencakup haus akan belainan, haus akan struktur, haus akan kesenangan dan haus akan pengakuan. Teori analisis transaksional menekankan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk mengadakan hubungan yang bisa dicapai dalam bentuknya yang terbaik melalui keakraban. Hubungan yg akrab berlandaskan penerimaan posisi saya OK kamu OK di kedua belah pihak. Hubungan yg akrab lazimnya bertumpu pada penerimaan cinta di mana sikap defensif menjadi tidak perlu. Memberi dan menerima adalah ungkapan kenikmatan yang spontan alih-alih respons terhadap upacara-upacara yang diprogram secara social. Keakraban adalah hbungan yang bebas dari permainan karena tujuan-tujuannya tidak tersembunyi (Harris, 1967).
Jadi salah satu cara teori analisis transaksional menjabarkan tingkah laku manusia adalah dalam kerangka penyusunan waktu yang melibatkan berbagai cara meperoleh belaian dari orang lain. Cara-cara itu berada pada suatu kontinum dari pengakuan-pengakuan yg diperoleh seseorang dari orang lain melalui upacara-upacara dan permainan-permainan, terhadap belaian-belaian yang diperoleh melalui suatu hubungan pribadi yg bermakna dan akrab.
5) Permainan-permainan yang Kita Mainkan
Para pendukung analisis transaksional mendorong orang-orang untuk mengenali dan memahami perwakilan-perwakilan egonya. Alasannya adalah dengan mengakui ketiga perwakilan ego itu, orang-orang bisa membebaskan diri dari putusan- putusan anak yang telah usang dari pesan-pesan orang tua yg irrasional yang menyulitkan kehidupan mereka. Analisis transaksional mengajari orang bagian mana yang sebaiknya digunakan untuk membuat putusan-putusan yang penting bagi kehidupannya. Disamping itu, para tokoh analisis transaksional mengungkapkan bahwa orang-orang bisa memahami dialog internalnya antara orang tua dan anak. Mereka juga bisa mendengar dan memahami hubungan mereka dengan orang lain. Mereka bisa sadar akan kapan mereka terus terang dan kapan mereka berbohong kepada orang lain. Dengan menggunakan prinsip-prinsip analisis transaksional, orang-orang bisa sadar akan jenis belaian yang diperolehnya., dan mereka bisa mengubah respons-respons belaian dari negatif ke positif.
Analisis transaksional memandang permainan-permainan sebagai penukaran belaian-belaian yang mengakibatkan berlarutnya-larutnya perasaan-perasaan tidak enak. Permainan-permainan boleh jadi memperlihatkan keakraban. Akan tetapi, orang-orang yang terlibat dalam transaksi-transaksi memainkan permainan menciptakan jarak di antara mereka sendiri dengan mengimpersonalkan pasangannya. Transaksi itu setidaknya melibatkan dua orang yang memainkan permainan. Transaksi permainan akan batal jika salah seorang menjadi sadar bahwa dirinya berada dalam permainan dan kemudian memutusakan untuk tidak lagi memainkannya.
Segitiga drama Karpman bisa digunakan untuk membantu orang-orang untuk memahami permainan-permainan. Pada segitiga terdapat seorang penuntut, seorang penyelamat, dan seorang korban.

B.    Tujuan Terapi Analisis Transaksional
Terapi analisis transaksional sebenarnya ber­tujuan untuk mengkaji secara mendalam proses transaksi (siapa-­siapa yang terlibat di dalamnya dan pesan apa yang dipertukarkan). Berne menegaskan bahwa tujuan bukanlah mendapatkan suatu wawasan, melainkan penyembuhan. Beberapa terapis menyamakan penyembuhan dengan penyelesaian kontrak perawatan antara klien dan terapis. Namun Berne sendiri tidak melihat penyembuhan sebagai peristiwa tunggal, namun progresif yang berlangsung dalam empat tahap, yaitu:
·         Kontrol sosial
Pada tahap ini klien mungkin masih merasakan ketidaknyamanan dan kesulitan sehingga ia datang ke terapis, namun ia telah bisa mengendalikan perilaku disfungsional dalam interaksinya dengan orang lain.
·         Penyembuhan gejala
Pada tahap ini klien bisa mengalami kelegaan ketidaknyamanan subjektif seperti kecemasan, depresi atau kebingungan.
·         Penyembuhan transferensi
Pada tahap ini klien sudah mulai bisa meninggalkan proses terapi, namun masih terkait dengan terapisnya.
·         Penyembuhan naskah
Pada tahap ini klien dinilai sudah berubah secara substansial dan permanen dan tak lagi mengandalkan pola-pola terapi dan masuk ke dalam pikiran, perasaan, dan perilaku.
Eric Berne juga mengajukan gagasan bahwa tujuan perubahan pribadi adalah otonomi. Maksudnya, diharapkan dengan terapi ini klien menjadi mandiri, dapat mengimplikasikan kemampuan untuk memecahkan problem dengan menggunakan sumber daya diri sendiri secara utuh untuk berpikir, merasakan, dan berperilaku dalam merespons realitas yang ada. Komponen-komponen otonomi adalah sebagai berikut;
·         Kesadaran artinya kemampuan untuk mengalami berbagai hal
·         Spontanitas artinya kemampuan untuk hidup dengan bebas, berdasarkan pilihan keadaan ego.
·         Kedekatan dengan orang lain, dalam pandangan analisis transaksional artinya ekspresi terbuka terkait keinginan, perasaan, dan kebutuhan tanpa berpura-pura atau memanipulasi.
            Menurut Corey, tujuan dasar dari analisis transaksional adalah membantu klien dalam membuat putusan-putusan baru yang menyangkut tingkah lakunya sekarang dan arah hidupnya. Sasaranya adalah mendorong klien agar menyadari bahwa kebebasan dirinya dalam memilih telah dibatsai oleh putusan dini mengenai posisi hidupnya.
Menurut Lutfi Fauzan, tujuan terapi analisis transaksional dapat dibagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.
1.      Tujuan umum terapi analisis transaksional, ialah membantu individu mencapai otonomi. Individu dikatakan mencapai otonomi bilamana ia memliki Kesadaran, Spontanitas, Keakraban.
2.      Tujuan khusus terapi analisis transaksional, yaitu sebagai berikut;
Ø  Terapis membantu klien membebankan Status Ego Dewasanya dari kontaminasi dan pengaruh negatif Status Ego Anak dan Status Ego Orang tua.
Ø  Terapis membantu klien menetapkan kebebasan untuk membuat pilihan-pilihan terlepas dari perintah-perintah orang tua.
Ø  Terapis membantu klien untuk menggunakan semua status egonya secara tepat.
Ø  Terapis membantu klien untuk mengubah keputusan-keputusan yang mengarah pada posisi kehidupan “orang kalah”.

C.      Fungsi Terapi Analisis Transaksional
Menurut Lutfi Fauzan (1994:70) Peran konselor adalah sebagai guru, pelatih dan penyelamat dengan terlibat secara penuh dengan konseli. Konselor berperan sebagai guru yang menjelaskan teknik-teknik seperti analisis struktural, analisis transaksional, naskah hidup, dan analisis game.
Di dalam analisis transaksional konselor berperan sebagai : membantu klien menemukan kemampuan diri untuk berubah dengan membuat keputusan saat sekarang., membantu klien memperoleh alat yang digunakan untuk mencapai perubahan, mendorong dan mengajar klien mendasarkan diri pada SED-nya sendiri dari pada SED konselor, menciptakan lingkungan yang memungkinkan klien dapat membuat keputusan-keputusan baru dalam hidupnya dan keluar dari rencana kehidupan yang menghambat perkembangannya.

D.      Teknik Terapi Analisis Transaksional
a.     Analisis Struktural
Analisis structural adalah alat yang bisa membantu klien agar menjadi sadar atas isi dan fungsi Ego Orang Tua, Ego Orang Dewasa dan Ego Anaknya. Klien belajar mengenali ketiga perwakilan ego-nya dan menemukan perwakilan ego yang menjadi landasan tingkah lakunya. Analisis structural membantu klien dalam mengubah pola-pola yang dirasa menghambat. Dua tipe masalah yang berkaitan dengan struktur kepribadian bisa diselidiki melalui analisis structural: pencemaran dan penyisihan. Pencemaran terjadi apabila isi perwakilan ego yang satu bercampur dengan isi perwakilan ego yang lainnya. Penyisihan terdapat ketika ego yang satu tersisih dan merintangi ego yang lainnya – yakni apabila garis-garis batas ego yang kaku tidak memungkinkan gerakan bebas.
b.      Metode-metode Didaktik
Analisis Transaksional menekankan domain kognitif,  prosedur-prosedur belajar mengajar menjadi prosedur-prosedur dasar bagi Analisis Transaksional. Para anggota kelompok-kelompok Transaksional diharapkan mengenal analisis structural dengan mengetahui landasan-landasan perwakilan ego. Seringkali dianjurkan beberapa buku, mengikuti konferensi-konferensi dan pendidikan-pendidikan yang berkaitan dengan Analisis Transaksional.
c.       Analisis Transaksional
Analisis transaksional pada dasarnya adalah suatu penjabaran atas apa yang dilakukan dan dikatakan oleh orang-orang terhadap satu sama lain. Apapun yang terjadi di antara orang-orang melibatkan suatu transaksi di antara perwakilan-perwakilan ego mereka. Ada tiga tipe transaksi: komplementer (seseorang memperoleh respon yang diperkirakan diberikan perwakilan ego orang lain), menyilang (respon yang diterima tidak diharapkan diberikan pada suatu pesan), dan terselubung ( transaksi yang kompleks, lebih dari satu perwakilan ego terlibat serta adanya pesan terrselubung pada orang lain).
d.      Kursi Kosong
Klien diminta untuk membayangkan bahwa seseorang sedang duduk di sebuah kursi dan sedang berdialog. Prosedur ini member kesempatan pada klien untuk menyatakan pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan sikap-sikapnya selama dia menjalankan peran-peran perwakilan-perwakilan ego-nya. Teknik kursi kosong dapat digunakan oleh orang-orang yang mengalami konflik-konflik internal yang hebat guna memperoleh fokus yang lebih tajam dan pegangan yang kongkret bagi upaya pemecahan.
e.       Permainan Peran
Dalam terapi kelompok, seseorang anggota kelompok memainkan peran sebagai perwakilan ego yang menjadi sumber masalah bagi anggota lainnya, dan ia berbicara kepada anggota tersebut. Bentuk permainan lainnya adalah permainan menonjolkan gaya-gaya yang khas dari perwakilan ego yang konstan, atau permainan tertentu lainnya agar memungkinkan klien memperoleh umpan balik tentang tingkah laku sekarang dalam kelompok.
f.       Percontohan Keluarga
Klien diminta untuk membayangkan suatu adegan yang melibatkan banyak orang dalam kenangan masa lalu termasuk diri klien. Klien menjadi sutradara, produser, sekaligus aktor, menempatkan anggota kelompok dan dirinya pada situasi yang dibayangkan. Diskusi, tindakan dan evaluasi dilakukan untuk mempertajam kesadaran pada suatu situasi yang spesifik dan makna-makna pribadi yang masih berlaku.
g.      Analisis Upacara, Hiburan, dan Permainan
Penyusunan waktu adalah bahan yang penting bagi diskusi dan pemeriksaan karena ia merefleksikan putusan-putusan tentang bagaimana menjalani transaksi dengan orang lain dan memperoleh belaian. Orang yang menyusun waktunya terutama dengan upacara-upacara dan hiburan-hiburan boleh jadi mengalami kekurangan belaian dan karenanya dia kekurangan keakraban dalam transaksinya dengan orang lain.
h.      Analisis Permainan dan Ketegangan
Analisis permainan-permainan dan ketegangan-ketegangan adalah suatu aspek yang penting  bagi pemahaman sifat transaksi-transaksi dengan orang lain. Hasil dari kebanyakan permaian adalah perasaan tidak enak yang dalami oleh pemain. Penting bagi terapis untuk mengamati dan memahami mengapa permainan-permainan yang dimainkan, apa hasil permainan-permainan itu, belaian-belaian apa yang diterima, dan bagaimana permainan-permainan itu membuat jarak dan menghambat keakraban. Belajar untuk memahami ‘penipuan’ oleh seseorang dan bagaiman kaitan penipuan itu dengan permainan-permainan, putusan-putusan dan skenario-skenario kehidupan adalah suatu proses yang penting dalam terapi Analisis Transaksional.
i.        Analisis Skenario
Analisis scenario adalah bagian dari proses terapi yang memungkinkan pola hidup yang diikuti oleh individu bisa dikenali. Analisis scenario membuka alternative-alternatif baru yang menjadikan orang bisa memilih sehingga dia tidak lagi merasa dipaksa memainkan permainan-permainan mengumpulkan perasaan-perasaan untuk membenarkan tindakan tertentu yang dilaksanakan menurut plot scenario. Analisis scenario bisa dilaksanakan dengan menggunakan suatu daftar scenario yang berisi item-item yang berkaitan dengan posisi-posisi hidup, penipuan-penipuan, permainan-permainan – yang semuanya merupakan komponen-komponen fungsional utama pada scenario kehidupan individu.
Menurut Corey secara umum teknik-teknik yang dapat dipilih dan diterapkan dalam terapi analisis transaksional, yaitu:
a.       Permission (pemberian kesempatan), dalam proses terapi, pemberian kesempatan ini diberikan kepada kilen agar dapat;
Ø menggunakan waktunya secara efektif tanpa melakukan ritual pengunduran diri mengalami semua status ego yang biasanya dilakukan dengan mendorong klin menggunakan kemampuan Status Ego Dewasa untuk menikmati kehidupan
Ø tidak memainkan permainan dengan cara tidak membiarkan klien memainkannya.
b.      Protection (proteksi), klien mungkin akan merasa ketakutan setelah ia menerima kesempatan untuk menghentikan perintah-perintah orang tua dan menggunakan Status Ego Dewasa dan Status Ego Anak.
c.       Potency (potensi), maksudnya seorang terapis tahu apa yang akan dilakukan dan kapan melakukannya. Oleh karena itu kemampuan terapis terletak pada keahliannya, sehingga keterampilan tersebut efektif secara optimal.
Menurut Berne ada beberapa teknik khusus yang dapat dipakai dalam proses terapi, yaitu interogasi, spesifikasi, konfrontasi, eksplanasi, illustrasi, konfirmasi, interprestasi, kristalisasi.

2.      Perbandingan terapi kelompok dan terapi individu
A.    Terapi Kelompok
Terapi Kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih. Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi klien dengan gangguan interpersonal. Keuntungan yang diperoleh individu melalui terapi aktivitas kelompok ini adalah dukungan (support), pendidikan, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, meningkatkan kemampuan hubungan interpersonal dan meningkatkan uji realitas sehingga terapi aktivitas kelompok ini dapat dilakukan pada karakteristik gangguan seperti : gangguan konsep diri, harga diri rendah, perubahan persepsi sensori halusinasi, klien dengan perilaku kekerasan atau agresif dan amuk serta menarik diri/isolasi sosial. Selain itu, dapat mengobati klien dalam jumlah banyak, dapat mendiskusikan masalah-masalah secara kelompok, menggali gaya berkomunikasi, belajar bermacam cara dalam memecahkan masalah, dan belajar peran di dalam kelompok. Namun, pada terapi ini juga terdapat kekurangan yaitu : kehidupan pribadi klien tidak terlindungi, klien kesulitan mengungkapkan masalahnya, terapis harus dalam jumlah banyak. Dengan sharing pengalaman pada klien dengan isolasi sosial diharapkan klien mampu membuka dirinya untuk berinteraksi dengan orang lain sehingga keterampilan hubungan sosial dapat ditingkatkan untuk diterapkan sehari-hari.
B.     Terapi Individu
Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan pendekatan hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang klien. Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien. Hubungan yang dijalin adalah hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan.
Hubungan terstruktur dalam terapi individual bertujuan agar klien mampu menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan mampu meredakan penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan cara yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

3.      Terapi Rasional Emotif
A.      Konsep Terapi Rasional Emotif
Terapi rasional emotif yang diperkenalkan pada tahun 1955 oleh Albert Ellis yang lahir pada tanggal 27 september 1913 di Pittsburgh, Pennysylvania, yang kemudian dibesarkan di new york. Ia menjadi pengarang dengan status bebas, dan banyak menulis buku maupuna rtikel, terutama mengenai seksualitas, disamping pernah pula sebagai manager personalia. Ia juga bekerja sebagai psikolog klinis di new jersey state diagnostic center, setahun kemudian dia menggabungkan diri dengan new jersey departement of institutions and angencies di trenton. Bersamaan dengan jabatannya, sejak tahun 1943 mengkhusukan diri pada psikoterapi dan konseling perkawinan. Ellis termasuk ke dalam tokoh yang mepelopori seks terapi. Ia juga seorang psikoanalisis, dia mendapati bahwa teori psikoanalasis yang dipelopori oleh Freud tidak mendalam dan satu bentuk pemulihan yang tidaks aintifik. Pada awal tahun 1955, beliau telah menggabungkan terapi-terapi kemanusiaan, fisolofikal dan tingkah laku dan dikenali sebagai teoriemosi-rasional (RET/ Rational Emotive Therapy). Semenjak itu beliau terkenal sebagai bapak kepada teori RET dan salah satu tokoh teori tingkah laku kognitif.
Terapi rasional emotif menurut Ellis mendasarkan pada konsep bahwa berpikir dan berperasaan saling berkaitan, namun dalam pendekatannya lebih menitik beratkan pada  pikiran daripada ekpresi emosi seseorang terapi ini menekankan bahwa manusia adalah manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan irasional. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi, manusia juga memiliki kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme, dan mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri. Terapi ini memberikan bantuan kepada klien untuk menantang dan memperbaiki keyakinan-keyakinan irasional yang dianggap menimbulkan kesulitan-kesulitan emosional dan behavioral. Untuk memahami lebih lanjut pada terapi rasional emotif terapi dikenal 2 konsep utama yang mendasari yaitu:
a.       Teori kepribadian
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis: ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilarini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.
1)      Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
2)      Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diriindividu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atauiB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi produktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan atau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan karena itu tidak produktif.
3)      Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.

b.      Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Dalam perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah, didalamnya merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irrasional. Adapun ciri-ciri berpikir irasional adalah:
1) Tidak dapat dibuktikan
2) Menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu
3) Menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif
Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional disebabkan oleh:
Ø  Individu tidak berpikir jelas tentang saat ini dan yang akan datang, antara kenyataan dan imajinasi.
Ø  Individu tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain.
Ø  Orang tua atau masyarakat memiliki kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui berbagai media.
Indikator sebab keyakinan irasional adalah:
Ø  Manusia hidup dalam masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang dikerjakan.
Ø  Banyak orang dalam kehidupan masyarakat yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut dicurigai, disalahkan, dan dihukum.
Ø  Kehidupan manusia senantiasa dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya.
Ø  Lebih mudah untuk menjauhi kesulitan-kesulitan hidup tertentu daripada berusaha untuk menghadapi dan menanganinya.
Ø  Penderitaan emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional tersebut.
Ø  Pengalaman masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah laku individu pada saat sekarang.
Ø  Untuk mencapai derajat yang tinggi dalam hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural.
Nilai diri sebagai manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu
Keyakinan irrasional tersebut merupakan reaksi emosional pada individu. Dalam pandangan Ellis, keyakinan yang rasional berakibat pada perilaku dan reaksi individu yang tepat, sedangkan keyakinan irrasional berakibat pada reaksi emosional dan perilaku yang salah.
B.      Tujuan Terapi Rasional Emotif
Berangkat dari pandangannya tentang hakikat manusia tujuan konseling menurut Ellis pada dasarnya membentuk pribadi yang rasional, dengan jalan mengganti cara-cara berpikir irrasional. Dalam pandangan Ellis, cara berpikir irrasional itulah yang menjadi individu mengalami gangguan emosional dan karena itu cara-cara berpikirnya harus diubah menjadi yang lebih tepat yaitu cara berpikir yang rasional. Mengemukakan secara tegas pengertian tersebut mencakup minimal pandangan yang mengalahkan diri (self-defeating) dan mencapai kehidupan yang lebih realistik, falsafah hidup yang toleran, termasuk didalamnya dapat mencapai keadaan yang dapat mengarahkan diri, menghargai diri, fleksibel, berpikir ilmiah, dan menerima diri. Untuk mencapai tujuan-tujuan konseling itu maka perlu pemahaman konseli tentang sistem keyakinan atau cara berpikir sendiri. Ada tiga tingkatan insight yang perlu dicapai dalam RET, yaitu:
a.  Pemahaman (insight) dicapai ketika konseli memahami tentang perilaku penolakan diri yang dihubungkan pada penyebab sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya tentang peristiwa-peristiwa yang diterima yang lalu dan saat ini.
b. Pemahaman terjadi ketika konselor/terapis membantu konseli untuk memahami bahwa apa yang mengganggu konseli pada saat ini adalah karena keyakinan yang irrasional terus dipelajari dan yang diperoleh sebelumnya.
c. Pemahaman yang dicapai pada saat konselor membantu konseli untuk mencapai pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hambatan emosional kecuali dengan mendeteksi dan “melawan” keyakinan yang irrasional.

C. Peran dan Fungsi Terapis atau Konselor Terapi Rasional Emotif
Peran terapis atau konselor Rational Emotive Theraphy adalah untuk mengetahui sebab-sebab yang melatar belakangi permasalahan klien. Terapis atau konselor meneliti latar belakang permasalahan klien melaui serangkaian wawancara dan informasi dari sejumlah sumber data.
Terapis atau konselor disini fungsinya adalah sebagai fasilitator, pembimbing, dan pendamping klien. Dalam perannya membantu klien mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapinya, sehingga klien dapat secara sadar dan mandiri mengembangkan atau meningkatkan potensi-potensi yang dimilikinya.

D.      Teknik Terapi Rasional Emotif
Rational Emotive Behavior Therapy menggunakan berbagi teknik yang bersifat kognitif, afektif, behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien. Teknik-teknik Rational Emotive Behavior Therapy sebagai berikut:
a.       Teknik-Teknik Kognitif
Adalah teknik yang digunakan untuk mengubah cara berfikir klien. Dewa Ketut menerangkan ada empat tahap dalam teknik-teknik kognitif:
1)      Tahap Pengajaran
Dalam REBT, konselor mengambil peranan lebih aktif dari pelajar. Tahap ini memberikan keleluasaan kepada konselor untuk berbicara serta menunjukkan sesuatu kepada klien, terutama menunjukkan bagaimana ketidak logikaan berfikir itu secara langsung menimbulkan gangguan emosi kepada klien tersebut.
2)      Tahap Persuasif
Meyakinkan klien untuk mengubah pandangannya karena pandangan yang ia kemukakan itu tidak benar. Dan Konselor juga mencoba meyakinkan, berbagai argumentasi untuk menunjukkan apa yang dianggap oleh klien itu adalah tidak benar.
3)      Tahap Konfrontasi
Konselor mengubah ketidak logikaan berfikir klien dan membawa klien ke arah berfikir yang lebih logika.
4)      Tahap Pemberian Tugas
Konselor memberi tugas kepada klien untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata. Misalnya, menugaskan klien bergaul dengan anggota masyarakat kalau mereka merasa dipencilkan dari pergaulan atau membaca buku untuk memperbaiki kekeliruan caranya berfikir.
b.      Teknik-Teknik Emotif
Teknik-teknik emotif adalah teknik yang digunakan untuk mengubah emosi klien. Antara teknik yang sering digunakan ialah:
1)      Teknik Sosiodrama
Memberi peluang mengekspresikan berbagai perasaan yang menekan klien itu melalui suasana yang didramatisasikan sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan, tulisan atau melalui gerakan dramatis.
2)      Teknik Self Modelling
Digunakan dengan meminta klien berjanji dengan konselor untuk menghilangkan perasaan yang menimpanya. Dia diminta taat setia pada janjinya.
3)      Teknik Assertive Training
Digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien dengan pola perilaku tertentu yang diinginkannya.
c.       Teknik-Teknik Behaviouristik
Terapi Rasional Emotif banyak menggunakan teknik behavioristik terutama dalam hal upaya modifikasi perilaku negatif klien, dengan mengubah akar-akar keyakinannya yang tidak rasional dan tidak logis, beberapa teknik yang tergolong behavioristik adalah:
1)      Teknik reinforcement
Teknik reinforcement (penguatan), yaitu: untuk mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman (punishment). Teknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai-nilai dan keyakinan yang irasional pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang lebih positif.
2)      Teknik social modeling (pemodelan sosial)
3)      Teknik social modeling (pemodelan sosial), yaitu: teknik untuk membentuk perilaku-perilaku baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara mutasi (meniru), mengobservasi dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial dengan maslah tertentu yang telah disiapkan konselor.
4)      Teknik live models
Teknik live models (mode kehidupan nyata), yaitu teknik yang digunakan untuk menggambar perilaku-perilaku tertentu. Khususnya situasi-situasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapanpercakapan sosial, interaksi dengan memecahkan masalah-masalah.

4.      Terapi perilaku
Terapi tingkah laku dalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Terapi ini menyertakan penerapan yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada pengubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang lebih adaptif. Berlandaskan teori belajar, modifikasi tingkah laku dan terapi tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berurusan dengan pengubahan tingkah laku. Pada dasarrnya, terapi tingkah laku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh tingkah laku baru, pengapusan tingkah laku yang maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan.

A.    Tujuan dan Peran terapis
Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yakni terapis menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan pada masalah-masalah manusia, para kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mengdiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan, mengarah pada tingkah laku yang baru. Krasner (1967) menunjukkan bahwa peran terapis adalah memanipulasi dan mengendalikan psikoterapi dengan pengetahuan dan kecakapannya menggunakan teknik-teknik belajar dalam suatu situasi perkuatan social.
B.     Ciri-ciri unik terapi tingkah laku
Terapi tingkah laku, berbeda dengan sebagian besar pendekatan terapi lainnya, ditandai oleh (a) pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment, (c) perumusan prosedur treatmen yang spesifik yang sesuai dengan masalah, dan (d) penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi.
C.     Pengondisian klasik versus pengondisian operan
Dua aliran utama membentuk esensi metode-metode dan teknik-teknik pendekatan terapi yang berlandaskan teori belajar, pengondisian klasik dan pengondisian operan. Pengondisian klasik, atau disebut pengondisian responden, berasal dari karya Pavlov. Pada dasarnya pengondisian klasik melibatkan stimulus tak berkondisi (UCS) yang secara otomatis membangkitkan respons berkondisi (CR), yang sama dengan respons tak berkondisi (UCR) apabila diasosiasikan dengan stimulus tak berkondisi. Jika UCS dipasangkan dengan suatu stimulus berkondisi (CS), lambat laun CS mengarahkan kemunculan CR.
Pengondisian operan, satu aliran utama lainnya dari pendekatan terapi yang berlandaskan teori belajar, melibatkan pemberian ganjaran kepada individu atas pemunculan tingkah lakunya (yang diharapkan) pada saat tingkah laku itu muncul. Pengondisian operan ini dikenal juga dengan sebutan pengondisian instrumental karena memperlihatkan bahwa tingkah laku instrumental bisa dimunculkan oleh organisme yang aktif sebelum perkuatan diberikan untuk tingkah laku tersebut. Skinner mengembangkan prinsip-prinsip perkuatan yang digunakan pada upaya memperoleh pola-pola tingkah laku tertentu yang dipelajari. Dalam pengondisian operan, pemberian perkuatan positif bisa memperkuat tingkah laku, sedangkan pemberian perkuatan negatif bisa memperlemah tingkah laku.
Proses kondisioning (operant conditioning) tidak jauh berbeda dari kondisioning klasik (clasic conditioning) Pavlov. Keduanya terdapat stimulus dan respons tak terkondisi serta stimulus dan respon terkondisi. Tetapi dalam percobaan pavlov anjing mengeluarkan air liur dalam kondisi pasif, sedangkan dalam percobaan Skinner tikus aktif mengubah situasi dengan menekan tombol demi tercapainya kebutuhan yaitu makanan. Menurut Skinner terdapat dua prinsip umum yang berkaitan dengan kondisioning operan, yaitu :
Setiap respons yang diikuti oleh reward →ini bekerja sebagai reinforcement stimuli → akan cenderung diulangi. Reward atau reinforcement stimuli akan meningkatkan kecepatan (rate) terjadinya respons.
D.    Teori Modeling Bandura
Menurut Albert Bandura, proses belajar terjadi melalui peniruan (imitation) terhadap perilaku orang lain yang dilihat atau diobservasi oleh seorang anak. Kita belajar dengan mengamati apa yang dilakukan oleh orang lain. Anak melihat perilaku orang lain dan kemudian mengadopsi perilaku tersebut. Untuk membuktikan hal tersebut, Bandura (1965) melakukan sebuah penelitian terhadap sejumlah anak pra-sekolah yang dibagi atas tiga kelompok. Kepada anak-anak itu diperlihatkan sebuah film yang di dalamnya anak dapat mengobservasi seorang dewasa yang berperilaku agresif terhadap sebuah boneka yang diberi nama Bobo Doll. Kelompok pertama diperlihatkan sebuah film yang di dalamnya si model masuk ke dalam sebuah ruangan dan memukuli secara agresif Bobo Doll. Kemudia dia diberi hadiah berupa permen dan minuman botol karena perilakunya tersebut. Pada kelompok kedua diputarkan sebuah film yang di dalamnya si model masuk sebuah ruangan, kemudia memukuli Bobo Doll, tetapi kemudian si model dikritik dan diberi hukuman karena tindakan agresifnya tersebut. Pada kelompok ketiga diputarkan sebuah film yang memperlihatkan si model masuk dalam sebuah ruangan yang didalamnya terdapat ruangan boneka Bobo Doll dan yang kemudian dipukulinya secara agresif. Pada akhir film si model tidak diberi hukuman dan tidak juga mendapat hadiah. Artinya, tidak ada konsekuensi apa-apa terhadap perilaku agresifnya tersebut.

Selanjutnya, anak-anak dari ketiga kelompok yang menonton film berbeda dibicarakan sendirian dalam sebuah ruangan yang berisi banyak alat mainan, termasuk boneka Bobo Doll. Perilaku anak di observasi melalui jendela dengan kaca satu arah. Ternyata, anak-anak yang menonton film yang didalamnya perilaku aggressor mendapat hadiah (kelompok pertama) atau tidak mendapat hadian (kelompok tiga) secara spontan meniru perilaku model (aggressor). Mereka memukuli Bobo Doll itu secara agresif. Jumlah anak yang meniru tingkah laku model lebih banyak di kedua kelompok inidibandingkan dengan mereka yang menyaksikan film yang didalamnya si model mendapat hukuman (kelompok dua).
Dari penelitian Bandura tersebut dapat disimpulkan belajar melalui observasi dapat terjadi hanya dengan menonton model nya saja dan melalui observasi tersebut seorang anak dapat belajar berperilaku. Mungkin anak tidak langsung memberikan respon (perilaku) yang langsung dapat diobservasi, tetapi anak menyimpan apa yang diobservasinya tersebut dalam bentuk kognitifnya (cognitive form), bentuk kognitif ini tetap aktif dalam diri anak dan pada saat anak berada pada situasi atau kondisi yang serupa, secara spontan cognitive form tadi turut serta menentukan perilaku si anak dalam kondisi tersebut. Hal ini lah yang menyebabkan sifat-sifat dan reaksi-reaksi emosional seorang anak menyerupai reaksi emosional kedua orang tuanya. Nenk moyang kita telah menyadari hal ini secara intuitif ketika mereka merumuskan adagium, “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.
Perilaku model yang telah diobservasi anak melalui tayangan TV, video-video (VCD/DVD), atau video game dapat menjadi bahan cognitive form si anak. Model perilaku cognitive form tersebut menjadi bahan referensi bawah sadar, yang apabila anak bertemu dnegan situasi yang serupa kelak akan memberikan respon seperti dia telah melihat bagaimana modelnya memberi respon.
E.     Teknik-teknik utama terapi tingkah laku
1)      Desensitisasi sistematik
Desensitisasi sistematik adalah salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam terapi tingkah laku. Desensitisasi sistematik digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu. Desensitisasi diarahkan pada mengajar klien untuk menampilkan suatu respon yang tidak konsisten dengan kecemasan.

Desensitisasi sistematik juga melibatkan teknik – teknik relaksasi. Klien dilatih untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau divisualisasi.
Prosedur model pengondisian balik ini adalah sebagai berikut :
Desensitisasi sistematik dimulai dengan suatu analisis tingkah laku atas stimulus-stimulus yang bisa membangkitkan kecemasan pada suatu wilayah tertentu seperti penolakan, rasa iri, ketidaksetujuan, atau suatu fobia. Disediakan waktu untuk menyusun suatu tingkatan kecemasan-kecemasan klien dalam wilayah tertentu. Terapis menyusun suatu daftar bertingkat mengenai situasi-situasi yang kemunculannya meningkatkan taraf kecemasan atau penghindaran. Tingkatan dirancang dalam urutan dari situasi yang paling buruk yang bisa dibayangkan oleh klien kesituasi yang membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah.
Selama pertemuan-pertemuan terapeutik pertama klien diberi latihan relaksasi yang terdiri atas kontraksi, dan lambat laun pengunduran otot-otot yang berbeda sampai tercapai suatu keadaan santai penuh. Sebelum latihan relaksasi dimulai, klien diberitahu tentang cara relaksasi yang digunakan dalam desensitisasi, cara menggunakan relaksasi itu dalam kehidupan sehati-hari, dan cara mengendurkan bagian-bagian tubuh tertentu. Pemikiran dan pembayangan situasi-situasi yang membuat santai seperti duduk dipinggir danau atau berjalan-jalan ditaman yang indah, sering digunakan. Hal yang penting adalah bahwa klien mencapai keadaan tenang dan damai. Klien diminta untuk mempraktekkan relaksasi diluar pertemuan terapeutik, sekitar 30 menit lamanya setiap hari. Apabila klien telah bisa belajar untuk santai dengan cepat, maka prosedur desensitisasi bisa dimulai.
Proses desensitisasi melibatkan keadaan dimana kien sepenuhnya santai dengan mata tertutup. Terapis menceritakan serangkaian ituasi dan meminta klien untuk membayangkan dirinya berada dalam setiap situasi yang diceritakan oleh terapis itu. Situai yang netral diungkapkan dan klien diminta untuk membayangkan dirinya berada di dalamnya. Terapis bergerak mngungkapkan situasi-situasi secara bertingkat sampai klien menunjukan bahwa dia mengalami kecemasan, dan pada saat itulah pengungkapan situasi diakhiri. Treatment dianggap selesai apabila klien mampu untuk tetap santai ketika membayangkan situasi yang sebelumnya paling menggelisahkan dan menghasilkan kecemasan.
2)      Terapi implosif daan pembanjiran
Teknik-teknik pembanjiran berlandaskan paradigma mengenai penghapusan eksperimental. Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa pemberian perkuatan. Stampfl (1975) mengembangkan teknik yang berhubungan dengan teknik pembanjiran yang disebut “terapi implosif” seperti halnya dengan desensitisasi sistematik, terapi implosif berasumsi bahwa tingkah laku neurotik melibatkan penghindaran terkondisi atas stimulus-stimulus penghasil kecemasan.
Stampfl (1975) mencatat beberapa contoh bagaimana terapi implosif berlangsung. Prosedur-prosedur penanganan klien mencakup :
·         Pencarian stimulus-stimulus yang memicu gejala-gejala
·         Menaksir bagaimana gejala-gejala berkaitan dan bagaimana gejala-gejala itu membentuk tingkah laku klien
·         Meminta kepada klien untuk membayangkan sejelas-jelasnya apa yang dijabarkannya tanpa disertai celan atas kepantasan situasi yang dihadapinya
·         Bergerak semakin dekat kepada ketakutan yang paling kuat yang dialami klien dan meminta kepadanya untuk membayangkan apa yang paling ingin dihindarinya
·         Mengulang prosedur-prosedur tersebut sampai kecemasan tidak lagi muncul dalam diri klien
3)      Latihan asertif
Latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang :
·         Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung
·         Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya
·         Memiliki kesulitan untuk mengatakn “tidak”
·         Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif lainnya
·         Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri
Shaffer dan Galinsky (1974) menerangkan bagaimana kelompok-kelompok latihan asertif atau “latiham ekspresif” dibentuk dan berfungsi. Kelompok terdiri atas delapan sampai sepuluh anggota memiliki latar belakang yang sama, dan session terapi berlangsung selama dua jam. Terapis bertindak sebagai penyelenggara dan pengarah permainan peran, pelatih, pemberi perkuatan, dan sebagai model peran. Dalam diskusi-diskusi kelompok, terapis bertindak sebagai seorang ahli, memberikan bimbingan dalam situasi-situasi permainan peran, dan memberikan umpan balik kepada para anggota.
4)      Terapi Aversi
Teknik-teknik aversi adalah metode-metode yang paling kontroversial yang dimiliki oleh para behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metode-metode untuk membawa orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan. Sebagian besar lembaga sosial menggunakan prosedur-prosedur aversif untuk mengendalikan para anggotanya dan untuk membentuk tingkah laku individu agar sesuai dengan yang telah digariskan: perusahaan-perusahaan menggunakan pemecatan dan penangguhan pembayaran upah, sedangkan pemerintah menggunakan denda dan hukuman penjara.
5)      Pengondisian operan
Tingkah laku operan merupakan tingkah laku yang paling bearti dalam kehidupan sehari-hari, yang mencakup membaca, berbicara, berpakaian, makan dengan alat-alat makan, bermain, dan sebagainya. Prinsip perkuatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan atau penghapusan pola-pola tingkah laku, merupakan inti dari pengondisian operan. Berikut ini uraian ringkas dari metode-metode pengondisian operan yang mencakup :
·         Perkuatan Positif
Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setlah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkah laku. Pemerkuat-pemerkuat baik primer (memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologis) maupun sekunder (memuaskan kebutuhan–kebutuhan psikologis dan social), diberikan untuk rentang tingkah laku yang luas. Contoh pemerkuat primer adalah makanan dan tidur atau istirahat. Contoh pemerkuat sekunder adalah yang bisa menjadi alat yang ampuh untuk membentuk tingkah laku yang diharapkan antara lain adalah senyuman, pujian, uang dan hadiah-hadiah. Penerapan pemberian perkuatan positif pada psikoterapi membutuhkan spesifikasi tingkah laku yang diharapkan, penemuan tentang apa agen yang memperkuat bagi individu dan penggunaan perkuatan positif secara sistematis guna memunculkan tingkah laku yang diingkan.
·         Pembentukan Respon
Dalam pembentukan respon, tingkah laku sekarang secara bertahap diubah dengan memperkuat unsur-unsur kecil dari tingkah laku baru yang diinginkan secara berturut-turut sampai mendekati tingkah laku akhir. Pembentukan respon berwujud pengemabangan suatu respon yang pada mulanya tidak terdapat dalam perbendaharaan tingkah laku individu.
·         Perkuatan Intermiten
Perkuatan intermiten diberikan secara bervariasi kepada tingkah laku yang spesifik. Tingkah laku dikondisikan oleh perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap pengahpusan disbanding dengan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian perkuatan yang terus-menerus.
·         Penghapusan
Terapis, guru dan orang tua yang menggunakan penghapusan sebagai teknik utama dalam mengahpus tingkah laku yang tidak diinginkan harus mencatat bahwa tingkah laku yang tidak diinginkan itu pada mulanya bias menjadi lebih buruk sebelum akhirnya terhapus atau dikurangi.
·         Pencontohan
Dalam pencontohan, individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang model. Bandura (1969) menyatakan bahwa belajar yang bias diperoleh melalui pengalaman langsung bias pula diperoleh secara tidak langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut konsekuensi-konsekuensinya. Jadi, kecakapan-kecakapan social tertentu bias diperoleh dengan mengamati dan mencontoh tingkah laku model-model yang ada.
·         Token Economy
Metode token economy dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku apabila persetujuari dan pemerkuat-pemerkuat yang tidak bias diraba lainnya tidak memberikan pengaruh. Dalam token economy, tingkah laku yang layak bias diperkuat dengan perkuatan-perkuatan yang bias diraba (tanda-tanda seperti kepingan logam) yang nantinya bias ditukar dengan objek-obejk atau hak istimewa yang diingini. Metode token economy sangat mirip dengan yang dijumpai dalam kehidupan nyata, misalnya, para pekerja dibayar untuk hasil pekerjaan mereka. Penggunaan tanda-tanda sebagai pemerkuat-pemerkuat bagi tingkah laku yang layak memiliki beberapa keuntunga, yaitu : 1. Tanda-tanda tidak kehilangan nilai insentifnya, 2. Tanda-tanda bisa mengurangi penundaan yang ada diantara tingkah laku yang layak dengan ganjarannya, 3. Tanda-tanda bias digunakan sebagai pengukur yang kongkret bagi motivasi individu untuk mengubah tingkah laku tertentu, 4. Tanda-tanda adalah bentuk perkuatan yang positif, 5. Individu memiliki kesempatan untuk memutuskan bagaimana menggunakan tanda-tanda yang diperolehnya, 6. Tanda-tanda cenderung menjembatani kesenjangan yang sering muncul diantara lembaga dan kehidupan sehari-hari.

CONTOH KASUS :
Contoh Kasus Teknik Perkuatan Intermiten
–          Seorang anak yang diberi pujian setiap berhasil menyelesaikan soal-soal matematika, misalnya, memiliki kecenderungan yang lebih kuat untuk berputus asa ketika menghadapi kegagalan dibanding dengan apabila si anak hanya diberi pujian sekali-sekali.

Contoh Kasus Teknik Penghapusan
–          Jika seorang anak menunjukkan kebandelan di rumah dan di sekolah, orang tua dan guru si anak bisa menghindari pemberian perhatian sebagai cara untuk menghapus kebandelan anak tersebut. Pada saat yang sama perkuatan positif bisa diberikan kepada si anak agar belajar tingkah laku yang diinginkan.
–          Contohnya, seorang anak yang telah belajar bahwa dia dengan mengomel biasanya memperoleh apa yang diinginkan, mungkin akan memperhebat omelannya ketika permintaannya tidak segera dipenuhi. Jadi, kesabaran mengahadapi periode peralihan sangan diperlukan.

Contoh Kasus Teknik Modelling
– Menurut Bandura, sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan maupun penyajian, contoh tingkah laku ( modeling ). Dalam hal ini orang tua dan guru memainkan peranan penting sebagai seorang model atau tokoh bagi anak – anak untuk menirukan tingkah laku membaca.
– Seorang pelajar melihat temannya dipuji dan ditegur oleh gurunya karena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya.
– Berdasarkan teori ini terdapat beberapa cara peniruan yaitu meniru secara langsung. Contohnya guru membuat demostrasi cara membuat kapal terbang kertas dan pelajar meniru secara langsung.
– Contohnya anak-anak meniru tingkah laku bersorak dilapangan, jadi tingkah laku bersorak merupakan contoh perilaku di lapangan.


Sumber:
·         http://go2psychology.blogspot.co.id/2012/01/analisis-transaksional.html
·         https://www.scribd.com/doc/76026377/Model-Model-Konseling-Rasional-Emotif-Terapi
·         https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/23/pendekatan-konseling-rasional-emotif/
·         YustinusSemiun, ovm. 2006. Kesehatan mental 3. Yogyakarta: Kansius.
·         prof. Dr. Singgih D. Gunarsa. 1992. Konseling dan terapi. Jakarta: PT Bpk Gunung mulia
·         Correy, Gerald. 2003. Teori dan praktek dari konseling dan psikoterapi. Edisi ke 4. Diterjemahkan oleh : E. Koeswara. Bandung : Refika Aditama.
·         Fauzan, Lutfi. (2001). Pendekatan-pendekatan Konseling Individual. Malang: Elang Mas.
·         https://nurainiajeeng.wordpress.com/2013/04/15/terapi-analisis-transaksional/
http://andriantifitri10.blogspot.co.id/2013/12/terapi-individual.html

https://adityaadityaa.wordpress.com/2014/05/21/terapi-perilaku-behavior-therapy/
Diberdayakan oleh Blogger.

Gunadarma BAAK News