1. TERAPI ANALISIS TRANSAKSIONAL
A.
Konsep Terapi Analisis
Transaksional
1)
Konsep Dasar Pandangan Tentang Sikap Manusia
Analisis
Transaksional berakar dalam suatu filsafat anti deterministik yang memandang
bahwa kehidupan manusia bukanlah suatu yang sudah ditentukan. Analisis
Transaksional didasarkan pada asumsi atau anggapan bahwa orang mampu memahami
keputusan-keputusan pada masa lalu dan kemudian dapat memilih untuk memutuskan
kembali atau menyesuaikan kembali keputusan yang telah pernah diambil. Berne
dalam pandangannya meyakini bahwa manusia mempunyai kapasitas untuk memilih
dan, dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya.
Kata
transaksi selalu mengacu pada proses pertukaran dalam suatu hubungan. Dalam
komunikasi antarpribadi pun dikenal transaksi, yang dipertukarkan adalah pesan
pesan baik verbal maupun nonverbal. Analisis transaksional sebenarnya bertujuan
untuk mengkaji secara mendalam proses transaksi (siapa-siapa yang terlibat di
dalamnya dan pesan apa yang dipertukarkan).
2)
Perwakilan Ego
Dalam
diri setiap manusia, seperti dikutip Collins (1983), memiliki tiga status ego.
Sikap dasar ego yang mengacu pada sikap orang tua (Parent= P. exteropsychic);
sikap orang dewasa (Adult=A. neopsychic); dan ego anak (Child = C,
arheopsychic). Ketiga sikap tersebut dimiliki setiap orang (baik dewasa,
anak-anak, maupun orangtua). Analisis transaksional menggunakan suatu sistem
terapi yang berlandaskan pada teori kepribadian yang menggunakan pola
perwakilan ego yang terpisah; orang tua, orang dewasa, dan anak. Menurut Corey
(1988), bahwa ego orang tua adalah bagian kepribadian yang merupakan introyeksi
dari orang tua atau subtitusi orang tua. Jika ego orang tua itu dialami kembali
oleh kita, maka apa yang dibayangkan adalah perasaan-perasaan orang tua kita
dalam suatu situasi, atau kita merasa dan bertindak terhadap orang lain dengan
cara yang sama dengan perasaaan dan tindakan orang tua kita terhadap diri kita.
Ego orang tua berisi perintah-perintah “harus” dan “semestinya”. Orang tua
dalam diri kita bisa “orang tua pelindung” atau “orang tua pengkritik”.
Ego
orang dewasa adalah pengolah data dan informasi, merupakan bagian objektif dari
kepribadian, juga menjadi bagian dari kepribadian yang mengetahui apa yang
sedang terjadi. Dia tidak emosional dan meghakimi, tetapi menangani fakta-fakta
dan kenyataan ekternal. Berdasarkan informasi yang tersedia, ego orang dewasa
menghasilkan pemecahan yang paling baik untuk masalah-masalah tertentu.
Selanjutnya,
ego anak berisi perasaan-perasaan, dorongan dan tindakan yang bersifat spontan,
“anak” yang berada dalam diri kita bisa berupa “anak alamiah,” adalah anak yang
impulsif, tak terlatih, spontan, dan ekspresif. Dia adalah bagian dari ego anak
yang intuitif. Ada juga berupa “anak disesuiakan,” yaitu merupakan
modifikasi-modifikasi yang dihasilkan oleh pengalaman traumatik, tuntutan-tuntutan,
latihan, dan ketepatan-ketepatan tentang bagaimana caranya memperoleh
perhatian.
3)
Skenario Kehidupan dan Posisi Psikologi Dasar
Skenario
kehidupan adalah ajaran orang tua yang kita pelajari dan keputusan awal yang
dibuat oleh kita sebagai anak, selanjutnya dipahami oleh kita sebagai orang
dewasa. Kita menerima pesan-pesan dengan demikian kita belajar dan menetapkan
tentang bagaimana kita pada usia dini. Pesan verbal dan non verbal orang tua,
mengkomunikasikan bagaimana mereka melihat dan bagimana merasakan diri kita.
Kita membuat keputusan yang memberikan andil pada pembentukan perasaaan sebagai
pemenang (perasaan “OK”) atau perasaan sebagai orang yang kalah (perasaan
“tidak OK”).
Hubungannya
dengan konsep skenario, pesan-pesan dan perintah orang tua dan keputusan kita.
Dalam hal ini, konsep analisis transaksional memiliki empat posisi dasar yaitu:
1) Pertama, Saya OK—Kamu OK
2) Kedua, Saya OK—Kamu Tidak OK
3) Ketiga, Saya Tidak OK—Kamu OK
4) Keempat, Saya Tidak OK—Kamu Tidak OK.
Masing-masing
dari posisi itu berlandaskan pada keputusan yang dibuat seseorang sebagai hasil
dari pengalaman masa kecil. Bila, keputusan yang telah diambil, maka umumnya
dia akan bertahan pada keputusannya itu, kecuali bila ada intevensi (konselor
atau kejadian tertentu) yang mengubahnya. Posisi yang sehat adalah posisi
dengan perasaan sebagai pemenang atau posisi Saya OK—Kamu OK. Dalam posisi
tersebut dua orang merasa seperti pemenang dan bisa menjalin hubungan langsung
yang terbuka. Saya OK—kamu tidak OK, adalah posisi orang yang memproyeksikan
masalah-masalahnya kepada orang lain dan biasanya melimpahkan kesalahan pada
orang lain, ciri pada posisi ini menunjukan sikap arogan, menjauhkan seseorang
dari orang lain dan mempertahankan seseorang dari teralinasi. Saya Tidak
OK—Kamu OK , adalah posisi orang yang mangalami depresi, merasa tidak kuasa
dibanding dengan orang lain dan cenderung menarik diri atau lebih suka memenuhi
keinginan orang lain daripada keinginan diri sendiri. Saya Tidak OK—Kamu Tidak
OK, adalah posisi orang yang memupus semua harapan, bersikap pesimis, dan
memandang hidup sebagai sesutau yang hampa.
4)
Kebutuhan Manusia Akan Belaian
Pada
dasarnya setiap manusia memerlukan belaian dari orang lain, baik itu yang
berlainan dalam bentuk fisik maupun emosional. Analisis transaksional memungut
pandangan tentang motivasi manusia bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar berkaitan
langsung dengan tingkah laku sehari-hari yang dapat diamati. Sejumlah kebutuhan
dasar mencakup haus akan belainan, haus akan struktur, haus akan kesenangan dan
haus akan pengakuan. Teori analisis transaksional menekankan bahwa manusia
memiliki kebutuhan untuk mengadakan hubungan yang bisa dicapai dalam bentuknya
yang terbaik melalui keakraban. Hubungan yg akrab berlandaskan penerimaan
posisi saya OK kamu OK di kedua belah pihak. Hubungan yg akrab lazimnya
bertumpu pada penerimaan cinta di mana sikap defensif menjadi tidak perlu.
Memberi dan menerima adalah ungkapan kenikmatan yang spontan alih-alih respons
terhadap upacara-upacara yang diprogram secara social. Keakraban adalah hbungan
yang bebas dari permainan karena tujuan-tujuannya tidak tersembunyi (Harris,
1967).
Jadi
salah satu cara teori analisis transaksional menjabarkan tingkah laku manusia
adalah dalam kerangka penyusunan waktu yang melibatkan berbagai cara meperoleh
belaian dari orang lain. Cara-cara itu berada pada suatu kontinum dari
pengakuan-pengakuan yg diperoleh seseorang dari orang lain melalui
upacara-upacara dan permainan-permainan, terhadap belaian-belaian yang
diperoleh melalui suatu hubungan pribadi yg bermakna dan akrab.
5)
Permainan-permainan yang Kita Mainkan
Para
pendukung analisis transaksional mendorong orang-orang untuk mengenali dan
memahami perwakilan-perwakilan egonya. Alasannya adalah dengan mengakui ketiga
perwakilan ego itu, orang-orang bisa membebaskan diri dari putusan- putusan
anak yang telah usang dari pesan-pesan orang tua yg irrasional yang menyulitkan
kehidupan mereka. Analisis transaksional mengajari orang bagian mana yang sebaiknya
digunakan untuk membuat putusan-putusan yang penting bagi kehidupannya.
Disamping itu, para tokoh analisis transaksional mengungkapkan bahwa
orang-orang bisa memahami dialog internalnya antara orang tua dan anak. Mereka
juga bisa mendengar dan memahami hubungan mereka dengan orang lain. Mereka bisa
sadar akan kapan mereka terus terang dan kapan mereka berbohong kepada orang
lain. Dengan menggunakan prinsip-prinsip analisis transaksional, orang-orang
bisa sadar akan jenis belaian yang diperolehnya., dan mereka bisa mengubah
respons-respons belaian dari negatif ke positif.
Analisis
transaksional memandang permainan-permainan sebagai penukaran belaian-belaian
yang mengakibatkan berlarutnya-larutnya perasaan-perasaan tidak enak.
Permainan-permainan boleh jadi memperlihatkan keakraban. Akan tetapi,
orang-orang yang terlibat dalam transaksi-transaksi memainkan permainan
menciptakan jarak di antara mereka sendiri dengan mengimpersonalkan
pasangannya. Transaksi itu setidaknya melibatkan dua orang yang memainkan
permainan. Transaksi permainan akan batal jika salah seorang menjadi sadar
bahwa dirinya berada dalam permainan dan kemudian memutusakan untuk tidak lagi
memainkannya.
Segitiga
drama Karpman bisa digunakan untuk membantu orang-orang untuk memahami permainan-permainan.
Pada segitiga terdapat seorang penuntut, seorang penyelamat, dan seorang
korban.
B. Tujuan
Terapi Analisis Transaksional
Terapi analisis transaksional sebenarnya bertujuan
untuk mengkaji secara mendalam proses transaksi (siapa-siapa yang terlibat di
dalamnya dan pesan apa yang dipertukarkan). Berne menegaskan bahwa tujuan
bukanlah mendapatkan suatu wawasan, melainkan penyembuhan. Beberapa terapis
menyamakan penyembuhan dengan penyelesaian kontrak perawatan antara klien dan
terapis. Namun Berne sendiri tidak melihat penyembuhan sebagai peristiwa
tunggal, namun progresif yang berlangsung dalam empat tahap, yaitu:
·
Kontrol sosial
Pada
tahap ini klien mungkin masih merasakan ketidaknyamanan dan kesulitan sehingga
ia datang ke terapis, namun ia telah bisa mengendalikan perilaku disfungsional
dalam interaksinya dengan orang lain.
·
Penyembuhan gejala
Pada
tahap ini klien bisa mengalami kelegaan ketidaknyamanan subjektif seperti
kecemasan, depresi atau kebingungan.
·
Penyembuhan transferensi
Pada
tahap ini klien sudah mulai bisa meninggalkan proses terapi, namun masih
terkait dengan terapisnya.
·
Penyembuhan naskah
Pada
tahap ini klien dinilai sudah berubah secara substansial dan permanen dan tak
lagi mengandalkan pola-pola terapi dan masuk ke dalam pikiran, perasaan, dan
perilaku.
Eric
Berne juga mengajukan gagasan bahwa tujuan perubahan pribadi adalah otonomi. Maksudnya,
diharapkan dengan terapi ini klien menjadi mandiri, dapat mengimplikasikan
kemampuan untuk memecahkan problem dengan menggunakan sumber daya diri sendiri
secara utuh untuk berpikir, merasakan, dan berperilaku dalam merespons realitas
yang ada. Komponen-komponen otonomi adalah sebagai berikut;
·
Kesadaran artinya kemampuan untuk
mengalami berbagai hal
·
Spontanitas artinya kemampuan untuk hidup
dengan bebas, berdasarkan pilihan keadaan ego.
·
Kedekatan dengan orang lain, dalam
pandangan analisis transaksional artinya ekspresi terbuka terkait keinginan,
perasaan, dan kebutuhan tanpa berpura-pura atau memanipulasi.
Menurut
Corey, tujuan dasar dari analisis transaksional adalah membantu klien dalam
membuat putusan-putusan baru yang menyangkut tingkah lakunya sekarang dan arah
hidupnya. Sasaranya adalah mendorong klien agar menyadari bahwa kebebasan
dirinya dalam memilih telah dibatsai oleh putusan dini mengenai posisi
hidupnya.
Menurut
Lutfi Fauzan, tujuan terapi analisis transaksional dapat dibagi menjadi tujuan
umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan umum terapi analisis
transaksional, ialah membantu individu mencapai otonomi. Individu dikatakan
mencapai otonomi bilamana ia memliki Kesadaran, Spontanitas, Keakraban.
2. Tujuan khusus terapi analisis
transaksional, yaitu sebagai berikut;
Ø Terapis
membantu klien membebankan Status Ego Dewasanya dari kontaminasi dan pengaruh
negatif Status Ego Anak dan Status Ego Orang tua.
Ø Terapis
membantu klien menetapkan kebebasan untuk membuat pilihan-pilihan terlepas dari
perintah-perintah orang tua.
Ø Terapis
membantu klien untuk menggunakan semua status egonya secara tepat.
Ø Terapis
membantu klien untuk mengubah keputusan-keputusan yang mengarah pada posisi
kehidupan “orang kalah”.
C. Fungsi Terapi Analisis Transaksional
Menurut
Lutfi Fauzan (1994:70) Peran konselor adalah sebagai guru, pelatih dan
penyelamat dengan terlibat secara penuh dengan konseli. Konselor berperan
sebagai guru yang menjelaskan teknik-teknik seperti analisis struktural,
analisis transaksional, naskah hidup, dan analisis game.
Di
dalam analisis transaksional konselor berperan sebagai : membantu klien
menemukan kemampuan diri untuk berubah dengan membuat keputusan saat sekarang.,
membantu klien memperoleh alat yang digunakan untuk mencapai perubahan,
mendorong dan mengajar klien mendasarkan diri pada SED-nya sendiri dari pada
SED konselor, menciptakan lingkungan yang memungkinkan klien dapat membuat
keputusan-keputusan baru dalam hidupnya dan keluar dari rencana kehidupan yang
menghambat perkembangannya.
D. Teknik Terapi Analisis Transaksional
a. Analisis Struktural
Analisis
structural adalah alat yang bisa membantu klien agar menjadi sadar atas isi dan
fungsi Ego Orang Tua, Ego Orang Dewasa dan Ego Anaknya. Klien belajar mengenali
ketiga perwakilan ego-nya dan menemukan perwakilan ego yang menjadi landasan
tingkah lakunya. Analisis structural membantu klien dalam mengubah pola-pola
yang dirasa menghambat. Dua tipe masalah yang berkaitan dengan struktur
kepribadian bisa diselidiki melalui analisis structural: pencemaran dan
penyisihan. Pencemaran terjadi apabila isi perwakilan ego yang satu bercampur
dengan isi perwakilan ego yang lainnya. Penyisihan terdapat ketika ego yang
satu tersisih dan merintangi ego yang lainnya – yakni apabila garis-garis batas
ego yang kaku tidak memungkinkan gerakan bebas.
b. Metode-metode Didaktik
Analisis
Transaksional menekankan domain kognitif,
prosedur-prosedur belajar mengajar menjadi prosedur-prosedur dasar bagi
Analisis Transaksional. Para anggota kelompok-kelompok Transaksional diharapkan
mengenal analisis structural dengan mengetahui landasan-landasan perwakilan
ego. Seringkali dianjurkan beberapa buku, mengikuti konferensi-konferensi dan
pendidikan-pendidikan yang berkaitan dengan Analisis Transaksional.
c. Analisis Transaksional
Analisis
transaksional pada dasarnya adalah suatu penjabaran atas apa yang dilakukan dan
dikatakan oleh orang-orang terhadap satu sama lain. Apapun yang terjadi di
antara orang-orang melibatkan suatu transaksi di antara perwakilan-perwakilan
ego mereka. Ada tiga tipe transaksi: komplementer (seseorang memperoleh respon
yang diperkirakan diberikan perwakilan ego orang lain), menyilang (respon yang
diterima tidak diharapkan diberikan pada suatu pesan), dan terselubung (
transaksi yang kompleks, lebih dari satu perwakilan ego terlibat serta adanya
pesan terrselubung pada orang lain).
d. Kursi Kosong
Klien
diminta untuk membayangkan bahwa seseorang sedang duduk di sebuah kursi dan
sedang berdialog. Prosedur ini member kesempatan pada klien untuk menyatakan pikiran-pikiran,
perasaan-perasaan, dan sikap-sikapnya selama dia menjalankan peran-peran
perwakilan-perwakilan ego-nya. Teknik kursi kosong dapat digunakan oleh
orang-orang yang mengalami konflik-konflik internal yang hebat guna memperoleh
fokus yang lebih tajam dan pegangan yang kongkret bagi upaya pemecahan.
e. Permainan Peran
Dalam
terapi kelompok, seseorang anggota kelompok memainkan peran sebagai perwakilan
ego yang menjadi sumber masalah bagi anggota lainnya, dan ia berbicara kepada
anggota tersebut. Bentuk permainan lainnya adalah permainan menonjolkan
gaya-gaya yang khas dari perwakilan ego yang konstan, atau permainan tertentu
lainnya agar memungkinkan klien memperoleh umpan balik tentang tingkah laku
sekarang dalam kelompok.
f. Percontohan Keluarga
Klien
diminta untuk membayangkan suatu adegan yang melibatkan banyak orang dalam
kenangan masa lalu termasuk diri klien. Klien menjadi sutradara, produser,
sekaligus aktor, menempatkan anggota kelompok dan dirinya pada situasi yang
dibayangkan. Diskusi, tindakan dan evaluasi dilakukan untuk mempertajam
kesadaran pada suatu situasi yang spesifik dan makna-makna pribadi yang masih
berlaku.
g. Analisis Upacara, Hiburan, dan Permainan
Penyusunan
waktu adalah bahan yang penting bagi diskusi dan pemeriksaan karena ia
merefleksikan putusan-putusan tentang bagaimana menjalani transaksi dengan
orang lain dan memperoleh belaian. Orang yang menyusun waktunya terutama dengan
upacara-upacara dan hiburan-hiburan boleh jadi mengalami kekurangan belaian dan
karenanya dia kekurangan keakraban dalam transaksinya dengan orang lain.
h. Analisis Permainan dan Ketegangan
Analisis
permainan-permainan dan ketegangan-ketegangan adalah suatu aspek yang
penting bagi pemahaman sifat
transaksi-transaksi dengan orang lain. Hasil dari kebanyakan permaian adalah
perasaan tidak enak yang dalami oleh pemain. Penting bagi terapis untuk
mengamati dan memahami mengapa permainan-permainan yang dimainkan, apa hasil
permainan-permainan itu, belaian-belaian apa yang diterima, dan bagaimana
permainan-permainan itu membuat jarak dan menghambat keakraban. Belajar untuk
memahami ‘penipuan’ oleh seseorang dan bagaiman kaitan penipuan itu dengan
permainan-permainan, putusan-putusan dan skenario-skenario kehidupan adalah
suatu proses yang penting dalam terapi Analisis Transaksional.
i. Analisis Skenario
Analisis
scenario adalah bagian dari proses terapi yang memungkinkan pola hidup yang
diikuti oleh individu bisa dikenali. Analisis scenario membuka
alternative-alternatif baru yang menjadikan orang bisa memilih sehingga dia
tidak lagi merasa dipaksa memainkan permainan-permainan mengumpulkan
perasaan-perasaan untuk membenarkan tindakan tertentu yang dilaksanakan menurut
plot scenario. Analisis scenario bisa dilaksanakan dengan menggunakan suatu
daftar scenario yang berisi item-item yang berkaitan dengan posisi-posisi
hidup, penipuan-penipuan, permainan-permainan – yang semuanya merupakan
komponen-komponen fungsional utama pada scenario kehidupan individu.
Menurut
Corey secara umum teknik-teknik yang dapat dipilih dan diterapkan dalam terapi
analisis transaksional, yaitu:
a. Permission (pemberian kesempatan), dalam
proses terapi, pemberian kesempatan ini diberikan kepada kilen agar dapat;
Ø menggunakan
waktunya secara efektif tanpa melakukan ritual pengunduran diri mengalami semua
status ego yang biasanya dilakukan dengan mendorong klin menggunakan kemampuan
Status Ego Dewasa untuk menikmati kehidupan
Ø tidak
memainkan permainan dengan cara tidak membiarkan klien memainkannya.
b. Protection (proteksi), klien mungkin akan
merasa ketakutan setelah ia menerima kesempatan untuk menghentikan
perintah-perintah orang tua dan menggunakan Status Ego Dewasa dan Status Ego
Anak.
c. Potency (potensi), maksudnya seorang
terapis tahu apa yang akan dilakukan dan kapan melakukannya. Oleh karena itu
kemampuan terapis terletak pada keahliannya, sehingga keterampilan tersebut
efektif secara optimal.
Menurut
Berne ada beberapa teknik khusus yang dapat dipakai dalam proses terapi, yaitu interogasi,
spesifikasi, konfrontasi, eksplanasi, illustrasi, konfirmasi, interprestasi,
kristalisasi.
2. Perbandingan terapi kelompok dan
terapi individu
A. Terapi
Kelompok
Terapi Kelompok merupakan suatu
psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi
satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis atau petugas
kesehatan jiwa yang telah terlatih. Terapi kelompok adalah terapi psikologi
yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi klien dengan
gangguan interpersonal. Keuntungan yang diperoleh individu melalui terapi
aktivitas kelompok ini adalah dukungan (support), pendidikan, meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah, meningkatkan kemampuan hubungan interpersonal dan
meningkatkan uji realitas sehingga terapi aktivitas kelompok ini dapat
dilakukan pada karakteristik gangguan seperti : gangguan konsep diri, harga
diri rendah, perubahan persepsi sensori halusinasi, klien dengan perilaku
kekerasan atau agresif dan amuk serta menarik diri/isolasi sosial. Selain itu,
dapat mengobati klien dalam jumlah banyak, dapat mendiskusikan masalah-masalah
secara kelompok, menggali gaya berkomunikasi, belajar bermacam cara dalam
memecahkan masalah, dan belajar peran di dalam kelompok. Namun, pada terapi ini
juga terdapat kekurangan yaitu : kehidupan pribadi klien tidak terlindungi,
klien kesulitan mengungkapkan masalahnya, terapis harus dalam jumlah banyak.
Dengan sharing pengalaman pada klien dengan isolasi sosial diharapkan klien
mampu membuka dirinya untuk berinteraksi dengan orang lain sehingga
keterampilan hubungan sosial dapat ditingkatkan untuk diterapkan sehari-hari.
B. Terapi
Individu
Terapi individual
adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan pendekatan hubungan individual
antara seorang terapis dengan seorang klien. Suatu hubungan yang terstruktur
yang terjalin antara perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien. Hubungan
yang dijalin adalah hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan
dengan tahapan sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi
perubahan tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal
hubungan.
Hubungan
terstruktur dalam terapi individual bertujuan agar klien mampu menyelesaikan
konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan mampu meredakan
penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan cara yang sesuai dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya.
3. Terapi Rasional Emotif
A. Konsep Terapi Rasional Emotif
Terapi
rasional emotif yang diperkenalkan pada tahun 1955 oleh Albert Ellis yang lahir
pada tanggal 27 september 1913 di Pittsburgh, Pennysylvania, yang kemudian
dibesarkan di new york. Ia menjadi pengarang dengan status bebas, dan banyak
menulis buku maupuna rtikel, terutama mengenai seksualitas, disamping pernah
pula sebagai manager personalia. Ia juga bekerja sebagai psikolog klinis di new
jersey state diagnostic center, setahun kemudian dia menggabungkan diri dengan
new jersey departement of institutions and angencies di trenton. Bersamaan
dengan jabatannya, sejak tahun 1943 mengkhusukan diri pada psikoterapi dan
konseling perkawinan. Ellis termasuk ke dalam tokoh yang mepelopori seks
terapi. Ia juga seorang psikoanalisis, dia mendapati bahwa teori psikoanalasis
yang dipelopori oleh Freud tidak mendalam dan satu bentuk pemulihan yang tidaks
aintifik. Pada awal tahun 1955, beliau telah menggabungkan terapi-terapi
kemanusiaan, fisolofikal dan tingkah laku dan dikenali sebagai
teoriemosi-rasional (RET/ Rational Emotive Therapy). Semenjak itu beliau
terkenal sebagai bapak kepada teori RET dan salah satu tokoh teori tingkah laku
kognitif.
Terapi
rasional emotif menurut Ellis mendasarkan pada konsep bahwa berpikir dan
berperasaan saling berkaitan, namun dalam pendekatannya lebih menitik beratkan
pada pikiran daripada ekpresi emosi
seseorang terapi ini menekankan bahwa manusia adalah manusia dilahirkan dengan
potensi, baik untuk berpikir rasional dan irasional. Manusia memiliki
kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan
mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan
mengaktualisasikan diri. Akan tetapi, manusia juga memiliki kecenderungan ke
arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali
kesalahan-kesalahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme, dan mencela diri,
serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri. Terapi ini memberikan
bantuan kepada klien untuk menantang dan memperbaiki keyakinan-keyakinan
irasional yang dianggap menimbulkan kesulitan-kesulitan emosional dan
behavioral. Untuk memahami lebih lanjut pada terapi rasional emotif terapi
dikenal 2 konsep utama yang mendasari yaitu:
a. Teori kepribadian
Pandangan
pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep
kunci teori Albert Ellis: ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu,
yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka
pilarini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.
1) Antecedent event (A) yaitu segenap
peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang
berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu
keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan
antecendent event bagi seseorang.
2) Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan,
nilai, atau verbalisasi diriindividu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan
seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau
rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atauiB). Keyakinan
yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk
akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi produktif. Keyakinan yang tidak
rasional merupakan keyakinan atau system berpikir seseorang yang salah, tidak
masuk akal, emosional, dan karena itu tidak produktif.
3) Emotional consequence (C) merupakan
konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan
senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A).
Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh
beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang
iB.
b. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Dalam
perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah,
didalamnya merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang
irrasional. Adapun ciri-ciri berpikir irasional adalah:
1)
Tidak dapat dibuktikan
2)
Menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya
tidak perlu
3)
Menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif
Sebab-sebab
individu tidak mampu berpikir secara rasional disebabkan oleh:
Ø Individu
tidak berpikir jelas tentang saat ini dan yang akan datang, antara kenyataan
dan imajinasi.
Ø Individu
tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain.
Ø Orang
tua atau masyarakat memiliki kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan
kepada individu melalui berbagai media.
Indikator
sebab keyakinan irasional adalah:
Ø Manusia
hidup dalam masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari
segala sesuatu yang dikerjakan.
Ø Banyak
orang dalam kehidupan masyarakat yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam
sehingga mereka patut dicurigai, disalahkan, dan dihukum.
Ø Kehidupan
manusia senantiasa dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat,
mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam
hidupnya.
Ø Lebih
mudah untuk menjauhi kesulitan-kesulitan hidup tertentu daripada berusaha untuk
menghadapi dan menanganinya.
Ø Penderitaan
emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal dan bahwa individu hanya
mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional
tersebut.
Ø Pengalaman
masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan individu dan
menentukan perasaan dan tingkah laku individu pada saat sekarang.
Ø Untuk
mencapai derajat yang tinggi dalam hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang
menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural.
Nilai
diri sebagai manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari
kebaikan penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap
individu
Keyakinan
irrasional tersebut merupakan reaksi emosional pada individu. Dalam pandangan
Ellis, keyakinan yang rasional berakibat pada perilaku dan reaksi individu yang
tepat, sedangkan keyakinan irrasional berakibat pada reaksi emosional dan
perilaku yang salah.
B. Tujuan Terapi Rasional Emotif
Berangkat
dari pandangannya tentang hakikat manusia tujuan konseling menurut Ellis pada
dasarnya membentuk pribadi yang rasional, dengan jalan mengganti cara-cara
berpikir irrasional. Dalam pandangan Ellis, cara berpikir irrasional itulah
yang menjadi individu mengalami gangguan emosional dan karena itu cara-cara
berpikirnya harus diubah menjadi yang lebih tepat yaitu cara berpikir yang
rasional. Mengemukakan secara tegas pengertian tersebut mencakup minimal
pandangan yang mengalahkan diri (self-defeating) dan mencapai kehidupan yang
lebih realistik, falsafah hidup yang toleran, termasuk didalamnya dapat
mencapai keadaan yang dapat mengarahkan diri, menghargai diri, fleksibel,
berpikir ilmiah, dan menerima diri. Untuk mencapai tujuan-tujuan konseling itu
maka perlu pemahaman konseli tentang sistem keyakinan atau cara berpikir
sendiri. Ada tiga tingkatan insight yang perlu dicapai dalam RET, yaitu:
a. Pemahaman (insight) dicapai ketika konseli
memahami tentang perilaku penolakan diri yang dihubungkan pada penyebab
sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya tentang
peristiwa-peristiwa yang diterima yang lalu dan saat ini.
b.
Pemahaman terjadi ketika konselor/terapis membantu konseli untuk memahami bahwa
apa yang mengganggu konseli pada saat ini adalah karena keyakinan yang
irrasional terus dipelajari dan yang diperoleh sebelumnya.
c.
Pemahaman yang dicapai pada saat konselor membantu konseli untuk mencapai
pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hambatan
emosional kecuali dengan mendeteksi dan “melawan” keyakinan yang irrasional.
C.
Peran dan Fungsi Terapis atau Konselor Terapi Rasional Emotif
Peran
terapis atau konselor Rational Emotive Theraphy adalah untuk mengetahui
sebab-sebab yang melatar belakangi permasalahan klien. Terapis atau konselor
meneliti latar belakang permasalahan klien melaui serangkaian wawancara dan
informasi dari sejumlah sumber data.
Terapis
atau konselor disini fungsinya adalah sebagai fasilitator, pembimbing, dan
pendamping klien. Dalam perannya membantu klien mengatasi masalah-masalah yang
sedang dihadapinya, sehingga klien dapat secara sadar dan mandiri mengembangkan
atau meningkatkan potensi-potensi yang dimilikinya.
D. Teknik Terapi Rasional Emotif
Rational
Emotive Behavior Therapy menggunakan berbagi teknik yang bersifat kognitif,
afektif, behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien. Teknik-teknik
Rational Emotive Behavior Therapy sebagai berikut:
a. Teknik-Teknik Kognitif
Adalah
teknik yang digunakan untuk mengubah cara berfikir klien. Dewa Ketut
menerangkan ada empat tahap dalam teknik-teknik kognitif:
1) Tahap Pengajaran
Dalam
REBT, konselor mengambil peranan lebih aktif dari pelajar. Tahap ini memberikan
keleluasaan kepada konselor untuk berbicara serta menunjukkan sesuatu kepada
klien, terutama menunjukkan bagaimana ketidak logikaan berfikir itu secara
langsung menimbulkan gangguan emosi kepada klien tersebut.
2) Tahap Persuasif
Meyakinkan
klien untuk mengubah pandangannya karena pandangan yang ia kemukakan itu tidak
benar. Dan Konselor juga mencoba meyakinkan, berbagai argumentasi untuk
menunjukkan apa yang dianggap oleh klien itu adalah tidak benar.
3) Tahap Konfrontasi
Konselor
mengubah ketidak logikaan berfikir klien dan membawa klien ke arah berfikir
yang lebih logika.
4) Tahap Pemberian Tugas
Konselor
memberi tugas kepada klien untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam
situasi nyata. Misalnya, menugaskan klien bergaul dengan anggota masyarakat
kalau mereka merasa dipencilkan dari pergaulan atau membaca buku untuk
memperbaiki kekeliruan caranya berfikir.
b. Teknik-Teknik Emotif
Teknik-teknik
emotif adalah teknik yang digunakan untuk mengubah emosi klien. Antara teknik
yang sering digunakan ialah:
1) Teknik Sosiodrama
Memberi
peluang mengekspresikan berbagai perasaan yang menekan klien itu melalui
suasana yang didramatisasikan sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya
sendiri secara lisan, tulisan atau melalui gerakan dramatis.
2) Teknik Self Modelling
Digunakan
dengan meminta klien berjanji dengan konselor untuk menghilangkan perasaan yang
menimpanya. Dia diminta taat setia pada janjinya.
3) Teknik Assertive Training
Digunakan
untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien dengan pola perilaku tertentu
yang diinginkannya.
c. Teknik-Teknik Behaviouristik
Terapi
Rasional Emotif banyak menggunakan teknik behavioristik terutama dalam hal
upaya modifikasi perilaku negatif klien, dengan mengubah akar-akar keyakinannya
yang tidak rasional dan tidak logis, beberapa teknik yang tergolong
behavioristik adalah:
1) Teknik reinforcement
Teknik
reinforcement (penguatan), yaitu: untuk mendorong klien ke arah tingkah laku
yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward)
ataupun hukuman (punishment). Teknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem
nilai-nilai dan keyakinan yang irasional pada klien dan menggantinya dengan
sistem nilai yang lebih positif.
2) Teknik social modeling (pemodelan sosial)
3) Teknik social modeling (pemodelan
sosial), yaitu: teknik untuk membentuk perilaku-perilaku baru pada klien.
Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang
diharapkan dengan cara mutasi (meniru), mengobservasi dan menyesuaikan dirinya
dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial dengan maslah
tertentu yang telah disiapkan konselor.
4) Teknik live models
Teknik
live models (mode kehidupan nyata), yaitu teknik yang digunakan untuk
menggambar perilaku-perilaku tertentu. Khususnya situasi-situasi interpersonal
yang kompleks dalam bentuk percakapanpercakapan sosial, interaksi dengan
memecahkan masalah-masalah.
4. Terapi perilaku
Terapi tingkah laku dalah
penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori
tentang belajar. Terapi ini menyertakan penerapan yang sistematis
prinsip-prinsip belajar pada pengubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang
lebih adaptif. Berlandaskan teori belajar, modifikasi tingkah laku dan terapi
tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi
yang berurusan dengan pengubahan tingkah laku. Pada dasarrnya, terapi tingkah
laku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh tingkah laku baru, pengapusan
tingkah laku yang maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku
yang diinginkan.
A. Tujuan
dan Peran terapis
Terapis tingkah laku
harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yakni
terapis menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan pada
masalah-masalah manusia, para kliennya. Terapis tingkah laku secara khas
berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mengdiagnosis tingkah laku
yang maladaptif dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang
diharapkan, mengarah pada tingkah laku yang baru. Krasner (1967) menunjukkan
bahwa peran terapis adalah memanipulasi dan mengendalikan psikoterapi dengan
pengetahuan dan kecakapannya menggunakan teknik-teknik belajar dalam suatu
situasi perkuatan social.
B. Ciri-ciri
unik terapi tingkah laku
Terapi tingkah laku,
berbeda dengan sebagian besar pendekatan terapi lainnya, ditandai oleh (a)
pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak dan spesifik, (b)
kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment, (c) perumusan prosedur
treatmen yang spesifik yang sesuai dengan masalah, dan (d) penaksiran objektif
atas hasil-hasil terapi.
C. Pengondisian
klasik versus pengondisian operan
Dua aliran utama
membentuk esensi metode-metode dan teknik-teknik pendekatan terapi yang
berlandaskan teori belajar, pengondisian klasik dan pengondisian operan.
Pengondisian klasik, atau disebut pengondisian responden, berasal dari karya
Pavlov. Pada dasarnya pengondisian klasik melibatkan stimulus tak berkondisi
(UCS) yang secara otomatis membangkitkan respons berkondisi (CR), yang sama
dengan respons tak berkondisi (UCR) apabila diasosiasikan dengan stimulus tak
berkondisi. Jika UCS dipasangkan dengan suatu stimulus berkondisi (CS), lambat
laun CS mengarahkan kemunculan CR.
Pengondisian operan, satu
aliran utama lainnya dari pendekatan terapi yang berlandaskan teori belajar,
melibatkan pemberian ganjaran kepada individu atas pemunculan tingkah lakunya
(yang diharapkan) pada saat tingkah laku itu muncul. Pengondisian operan ini
dikenal juga dengan sebutan pengondisian instrumental karena memperlihatkan
bahwa tingkah laku instrumental bisa dimunculkan oleh organisme yang aktif
sebelum perkuatan diberikan untuk tingkah laku tersebut. Skinner mengembangkan
prinsip-prinsip perkuatan yang digunakan pada upaya memperoleh pola-pola
tingkah laku tertentu yang dipelajari. Dalam pengondisian operan, pemberian
perkuatan positif bisa memperkuat tingkah laku, sedangkan pemberian perkuatan
negatif bisa memperlemah tingkah laku.
Proses kondisioning
(operant conditioning) tidak jauh berbeda dari kondisioning klasik (clasic
conditioning) Pavlov. Keduanya terdapat stimulus dan respons tak terkondisi
serta stimulus dan respon terkondisi. Tetapi dalam percobaan pavlov anjing
mengeluarkan air liur dalam kondisi pasif, sedangkan dalam percobaan Skinner
tikus aktif mengubah situasi dengan menekan tombol demi tercapainya kebutuhan
yaitu makanan. Menurut Skinner terdapat dua prinsip umum yang berkaitan dengan
kondisioning operan, yaitu :
Setiap respons yang
diikuti oleh reward →ini bekerja sebagai reinforcement stimuli → akan cenderung
diulangi. Reward atau reinforcement stimuli akan meningkatkan kecepatan (rate)
terjadinya respons.
D. Teori
Modeling Bandura
Menurut Albert Bandura,
proses belajar terjadi melalui peniruan (imitation) terhadap perilaku orang
lain yang dilihat atau diobservasi oleh seorang anak. Kita belajar dengan
mengamati apa yang dilakukan oleh orang lain. Anak melihat perilaku orang lain
dan kemudian mengadopsi perilaku tersebut. Untuk membuktikan hal tersebut,
Bandura (1965) melakukan sebuah penelitian terhadap sejumlah anak pra-sekolah
yang dibagi atas tiga kelompok. Kepada anak-anak itu diperlihatkan sebuah film
yang di dalamnya anak dapat mengobservasi seorang dewasa yang berperilaku
agresif terhadap sebuah boneka yang diberi nama Bobo Doll. Kelompok pertama
diperlihatkan sebuah film yang di dalamnya si model masuk ke dalam sebuah
ruangan dan memukuli secara agresif Bobo Doll. Kemudia dia diberi hadiah berupa
permen dan minuman botol karena perilakunya tersebut. Pada kelompok kedua
diputarkan sebuah film yang di dalamnya si model masuk sebuah ruangan, kemudia
memukuli Bobo Doll, tetapi kemudian si model dikritik dan diberi hukuman karena
tindakan agresifnya tersebut. Pada kelompok ketiga diputarkan sebuah film yang
memperlihatkan si model masuk dalam sebuah ruangan yang didalamnya terdapat
ruangan boneka Bobo Doll dan yang kemudian dipukulinya secara agresif. Pada
akhir film si model tidak diberi hukuman dan tidak juga mendapat hadiah.
Artinya, tidak ada konsekuensi apa-apa terhadap perilaku agresifnya tersebut.
Selanjutnya, anak-anak
dari ketiga kelompok yang menonton film berbeda dibicarakan sendirian dalam
sebuah ruangan yang berisi banyak alat mainan, termasuk boneka Bobo Doll.
Perilaku anak di observasi melalui jendela dengan kaca satu arah. Ternyata,
anak-anak yang menonton film yang didalamnya perilaku aggressor mendapat hadiah
(kelompok pertama) atau tidak mendapat hadian (kelompok tiga) secara spontan
meniru perilaku model (aggressor). Mereka memukuli Bobo Doll itu secara
agresif. Jumlah anak yang meniru tingkah laku model lebih banyak di kedua
kelompok inidibandingkan dengan mereka yang menyaksikan film yang didalamnya si
model mendapat hukuman (kelompok dua).
Dari penelitian Bandura
tersebut dapat disimpulkan belajar melalui observasi dapat terjadi hanya dengan
menonton model nya saja dan melalui observasi tersebut seorang anak dapat
belajar berperilaku. Mungkin anak tidak langsung memberikan respon (perilaku)
yang langsung dapat diobservasi, tetapi anak menyimpan apa yang diobservasinya
tersebut dalam bentuk kognitifnya (cognitive form), bentuk kognitif ini tetap
aktif dalam diri anak dan pada saat anak berada pada situasi atau kondisi yang
serupa, secara spontan cognitive form tadi turut serta menentukan perilaku si
anak dalam kondisi tersebut. Hal ini lah yang menyebabkan sifat-sifat dan
reaksi-reaksi emosional seorang anak menyerupai reaksi emosional kedua orang
tuanya. Nenk moyang kita telah menyadari hal ini secara intuitif ketika mereka
merumuskan adagium, “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.
Perilaku model yang telah
diobservasi anak melalui tayangan TV, video-video (VCD/DVD), atau video game
dapat menjadi bahan cognitive form si anak. Model perilaku cognitive form
tersebut menjadi bahan referensi bawah sadar, yang apabila anak bertemu dnegan
situasi yang serupa kelak akan memberikan respon seperti dia telah melihat
bagaimana modelnya memberi respon.
E. Teknik-teknik
utama terapi tingkah laku
1) Desensitisasi
sistematik
Desensitisasi sistematik
adalah salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam terapi tingkah laku.
Desensitisasi sistematik digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat
secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku atau respon yang
berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu. Desensitisasi
diarahkan pada mengajar klien untuk menampilkan suatu respon yang tidak
konsisten dengan kecemasan.
Desensitisasi sistematik
juga melibatkan teknik – teknik relaksasi. Klien dilatih untuk santai dan
mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit
kecemasan yang dibayangkan atau divisualisasi.
Prosedur model
pengondisian balik ini adalah sebagai berikut :
Desensitisasi sistematik
dimulai dengan suatu analisis tingkah laku atas stimulus-stimulus yang bisa
membangkitkan kecemasan pada suatu wilayah tertentu seperti penolakan, rasa
iri, ketidaksetujuan, atau suatu fobia. Disediakan waktu untuk menyusun suatu
tingkatan kecemasan-kecemasan klien dalam wilayah tertentu. Terapis menyusun
suatu daftar bertingkat mengenai situasi-situasi yang kemunculannya
meningkatkan taraf kecemasan atau penghindaran. Tingkatan dirancang dalam
urutan dari situasi yang paling buruk yang bisa dibayangkan oleh klien
kesituasi yang membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah.
Selama
pertemuan-pertemuan terapeutik pertama klien diberi latihan relaksasi yang
terdiri atas kontraksi, dan lambat laun pengunduran otot-otot yang berbeda
sampai tercapai suatu keadaan santai penuh. Sebelum latihan relaksasi dimulai,
klien diberitahu tentang cara relaksasi yang digunakan dalam desensitisasi,
cara menggunakan relaksasi itu dalam kehidupan sehati-hari, dan cara
mengendurkan bagian-bagian tubuh tertentu. Pemikiran dan pembayangan
situasi-situasi yang membuat santai seperti duduk dipinggir danau atau
berjalan-jalan ditaman yang indah, sering digunakan. Hal yang penting adalah
bahwa klien mencapai keadaan tenang dan damai. Klien diminta untuk
mempraktekkan relaksasi diluar pertemuan terapeutik, sekitar 30 menit lamanya
setiap hari. Apabila klien telah bisa belajar untuk santai dengan cepat, maka
prosedur desensitisasi bisa dimulai.
Proses desensitisasi
melibatkan keadaan dimana kien sepenuhnya santai dengan mata tertutup. Terapis
menceritakan serangkaian ituasi dan meminta klien untuk membayangkan dirinya
berada dalam setiap situasi yang diceritakan oleh terapis itu. Situai yang
netral diungkapkan dan klien diminta untuk membayangkan dirinya berada di
dalamnya. Terapis bergerak mngungkapkan situasi-situasi secara bertingkat
sampai klien menunjukan bahwa dia mengalami kecemasan, dan pada saat itulah
pengungkapan situasi diakhiri. Treatment dianggap selesai apabila klien mampu
untuk tetap santai ketika membayangkan situasi yang sebelumnya paling menggelisahkan
dan menghasilkan kecemasan.
2) Terapi
implosif daan pembanjiran
Teknik-teknik pembanjiran
berlandaskan paradigma mengenai penghapusan eksperimental. Teknik ini terdiri
atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa pemberian perkuatan.
Stampfl (1975) mengembangkan teknik yang berhubungan dengan teknik pembanjiran
yang disebut “terapi implosif” seperti halnya dengan desensitisasi sistematik,
terapi implosif berasumsi bahwa tingkah laku neurotik melibatkan penghindaran
terkondisi atas stimulus-stimulus penghasil kecemasan.
Stampfl (1975) mencatat
beberapa contoh bagaimana terapi implosif berlangsung. Prosedur-prosedur
penanganan klien mencakup :
·
Pencarian stimulus-stimulus yang memicu
gejala-gejala
·
Menaksir bagaimana gejala-gejala berkaitan
dan bagaimana gejala-gejala itu membentuk tingkah laku klien
·
Meminta kepada klien untuk membayangkan
sejelas-jelasnya apa yang dijabarkannya tanpa disertai celan atas kepantasan
situasi yang dihadapinya
·
Bergerak semakin dekat kepada ketakutan
yang paling kuat yang dialami klien dan meminta kepadanya untuk membayangkan
apa yang paling ingin dihindarinya
·
Mengulang prosedur-prosedur tersebut
sampai kecemasan tidak lagi muncul dalam diri klien
3) Latihan
asertif
Latihan asertif akan
membantu bagi orang-orang yang :
·
Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau
perasaan tersinggung
·
Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan
selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya
·
Memiliki kesulitan untuk mengatakn “tidak”
·
Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan
afeksi dan respons-respons positif lainnya
·
Merasa tidak punya hak untuk memiliki
perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri
Shaffer dan Galinsky
(1974) menerangkan bagaimana kelompok-kelompok latihan asertif atau “latiham
ekspresif” dibentuk dan berfungsi. Kelompok terdiri atas delapan sampai sepuluh
anggota memiliki latar belakang yang sama, dan session terapi berlangsung
selama dua jam. Terapis bertindak sebagai penyelenggara dan pengarah permainan
peran, pelatih, pemberi perkuatan, dan sebagai model peran. Dalam
diskusi-diskusi kelompok, terapis bertindak sebagai seorang ahli, memberikan
bimbingan dalam situasi-situasi permainan peran, dan memberikan umpan balik
kepada para anggota.
4) Terapi
Aversi
Teknik-teknik aversi
adalah metode-metode yang paling kontroversial yang dimiliki oleh para
behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metode-metode untuk membawa
orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan. Sebagian besar lembaga sosial
menggunakan prosedur-prosedur aversif untuk mengendalikan para anggotanya dan
untuk membentuk tingkah laku individu agar sesuai dengan yang telah digariskan:
perusahaan-perusahaan menggunakan pemecatan dan penangguhan pembayaran upah,
sedangkan pemerintah menggunakan denda dan hukuman penjara.
5) Pengondisian
operan
Tingkah laku operan
merupakan tingkah laku yang paling bearti dalam kehidupan sehari-hari, yang
mencakup membaca, berbicara, berpakaian, makan dengan alat-alat makan, bermain,
dan sebagainya. Prinsip perkuatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan
atau penghapusan pola-pola tingkah laku, merupakan inti dari pengondisian
operan. Berikut ini uraian ringkas dari metode-metode pengondisian operan yang
mencakup :
·
Perkuatan Positif
Pembentukan suatu pola
tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setlah tingkah
laku yang diharapkan muncul adalah suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkah
laku. Pemerkuat-pemerkuat baik primer (memuaskan kebutuhan-kebutuhan
fisiologis) maupun sekunder (memuaskan kebutuhan–kebutuhan psikologis dan
social), diberikan untuk rentang tingkah laku yang luas. Contoh pemerkuat
primer adalah makanan dan tidur atau istirahat. Contoh pemerkuat sekunder
adalah yang bisa menjadi alat yang ampuh untuk membentuk tingkah laku yang diharapkan
antara lain adalah senyuman, pujian, uang dan hadiah-hadiah. Penerapan
pemberian perkuatan positif pada psikoterapi membutuhkan spesifikasi tingkah
laku yang diharapkan, penemuan tentang apa agen yang memperkuat bagi individu
dan penggunaan perkuatan positif secara sistematis guna memunculkan tingkah
laku yang diingkan.
·
Pembentukan Respon
Dalam pembentukan respon,
tingkah laku sekarang secara bertahap diubah dengan memperkuat unsur-unsur
kecil dari tingkah laku baru yang diinginkan secara berturut-turut sampai
mendekati tingkah laku akhir. Pembentukan respon berwujud pengemabangan suatu
respon yang pada mulanya tidak terdapat dalam perbendaharaan tingkah laku
individu.
·
Perkuatan Intermiten
Perkuatan intermiten
diberikan secara bervariasi kepada tingkah laku yang spesifik. Tingkah laku
dikondisikan oleh perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap
pengahpusan disbanding dengan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian
perkuatan yang terus-menerus.
·
Penghapusan
Terapis, guru dan orang tua
yang menggunakan penghapusan sebagai teknik utama dalam mengahpus tingkah laku
yang tidak diinginkan harus mencatat bahwa tingkah laku yang tidak diinginkan
itu pada mulanya bias menjadi lebih buruk sebelum akhirnya terhapus atau
dikurangi.
·
Pencontohan
Dalam pencontohan,
individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah
laku sang model. Bandura (1969) menyatakan bahwa belajar yang bias diperoleh
melalui pengalaman langsung bias pula diperoleh secara tidak langsung dengan mengamati
tingkah laku orang lain berikut konsekuensi-konsekuensinya. Jadi,
kecakapan-kecakapan social tertentu bias diperoleh dengan mengamati dan
mencontoh tingkah laku model-model yang ada.
·
Token Economy
Metode token economy
dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku apabila persetujuari dan
pemerkuat-pemerkuat yang tidak bias diraba lainnya tidak memberikan pengaruh.
Dalam token economy, tingkah laku yang layak bias diperkuat dengan
perkuatan-perkuatan yang bias diraba (tanda-tanda seperti kepingan logam) yang
nantinya bias ditukar dengan objek-obejk atau hak istimewa yang diingini.
Metode token economy sangat mirip dengan yang dijumpai dalam kehidupan nyata,
misalnya, para pekerja dibayar untuk hasil pekerjaan mereka. Penggunaan
tanda-tanda sebagai pemerkuat-pemerkuat bagi tingkah laku yang layak memiliki
beberapa keuntunga, yaitu : 1. Tanda-tanda tidak kehilangan nilai insentifnya,
2. Tanda-tanda bisa mengurangi penundaan yang ada diantara tingkah laku yang
layak dengan ganjarannya, 3. Tanda-tanda bias digunakan sebagai pengukur yang
kongkret bagi motivasi individu untuk mengubah tingkah laku tertentu, 4.
Tanda-tanda adalah bentuk perkuatan yang positif, 5. Individu memiliki
kesempatan untuk memutuskan bagaimana menggunakan tanda-tanda yang
diperolehnya, 6. Tanda-tanda cenderung menjembatani kesenjangan yang sering
muncul diantara lembaga dan kehidupan sehari-hari.
CONTOH KASUS :
Contoh Kasus Teknik Perkuatan Intermiten
–
Seorang anak yang diberi pujian setiap berhasil menyelesaikan soal-soal
matematika, misalnya, memiliki kecenderungan yang lebih kuat untuk berputus asa
ketika menghadapi kegagalan dibanding dengan apabila si anak hanya diberi
pujian sekali-sekali.
Contoh Kasus Teknik Penghapusan
–
Jika seorang anak menunjukkan kebandelan di rumah dan di sekolah, orang
tua dan guru si anak bisa menghindari pemberian perhatian sebagai cara untuk
menghapus kebandelan anak tersebut. Pada saat yang sama perkuatan positif bisa
diberikan kepada si anak agar belajar tingkah laku yang diinginkan.
–
Contohnya, seorang anak yang telah belajar bahwa dia dengan mengomel
biasanya memperoleh apa yang diinginkan, mungkin akan memperhebat omelannya
ketika permintaannya tidak segera dipenuhi. Jadi, kesabaran mengahadapi periode
peralihan sangan diperlukan.
Contoh Kasus Teknik Modelling
– Menurut Bandura, sebagian besar tingkah
laku manusia dipelajari melalui peniruan maupun penyajian, contoh tingkah laku
( modeling ). Dalam hal ini orang tua dan guru memainkan peranan penting
sebagai seorang model atau tokoh bagi anak – anak untuk menirukan tingkah laku
membaca.
– Seorang pelajar melihat temannya dipuji
dan ditegur oleh gurunya karena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan
perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya.
– Berdasarkan teori ini terdapat beberapa
cara peniruan yaitu meniru secara langsung. Contohnya guru membuat demostrasi
cara membuat kapal terbang kertas dan pelajar meniru secara langsung.
– Contohnya anak-anak meniru tingkah laku
bersorak dilapangan, jadi tingkah laku bersorak merupakan contoh perilaku di
lapangan.
Sumber:
·
http://go2psychology.blogspot.co.id/2012/01/analisis-transaksional.html
·
https://www.scribd.com/doc/76026377/Model-Model-Konseling-Rasional-Emotif-Terapi
·
https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/23/pendekatan-konseling-rasional-emotif/
·
YustinusSemiun, ovm. 2006. Kesehatan mental 3. Yogyakarta: Kansius.
·
prof. Dr. Singgih D. Gunarsa. 1992. Konseling dan terapi. Jakarta: PT
Bpk Gunung mulia
·
Correy, Gerald. 2003. Teori dan praktek dari konseling dan psikoterapi.
Edisi ke 4. Diterjemahkan oleh : E. Koeswara. Bandung : Refika Aditama.
·
Fauzan, Lutfi. (2001). Pendekatan-pendekatan Konseling Individual.
Malang: Elang Mas.
·
https://nurainiajeeng.wordpress.com/2013/04/15/terapi-analisis-transaksional/
http://andriantifitri10.blogspot.co.id/2013/12/terapi-individual.html
https://adityaadityaa.wordpress.com/2014/05/21/terapi-perilaku-behavior-therapy/